Suara.com - Bencana hidrometeorologi terus mengintai Indonesia. Sepanjang 2024, hampir dua ribu kejadian tercatat. Banjir, longsor, dan angin kencang merusak puluhan ribu rumah, menyebabkan ratusan jiwa meninggal, luka, bahkan hilang.
Namun di tengah kekhawatiran, secercah harapan muncul. Pemerintah mencoba pendekatan baru yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Salah satunya menggandeng para pemuka agama dalam menjaga dan memulihkan hutan.
Langkah ini diambil Kementerian Kehutanan (KLK) sebagai bagian dari strategi rehabilitasi lahan kritis seluas 12,7 juta hektare.
Target ambisius ini ingin dicapai hingga tahun 2029. Hutan-hutan yang rusak itu tersebar di kawasan mineral, gambut, hingga mangrove semuanya memiliki fungsi penting dalam menyerap air dan menahan dampak perubahan iklim.
“Ketika hutan dipelihara dan lahan kritis direhabilitasi, kemampuan hutan menyerap air meningkat sehingga berkontribusi langsung pada pengurangan risiko banjir dan kekeringan,” ujar Wening Sri Wulandari, Kepala Pusat Pengembangan Mitigasi dan Adaptasi Bencana Hidrometeorologi Kementerian Kehutanan, Rabu (11/6) di Jakarta seperti dikutip dari ANTARA.

Pernyataan tersebut ia sampaikan seusai memberi pembekalan ilmiah kepada 450 pemuka agama dan komunitas keagamaan dari berbagai wilayah di Indonesia. Kegiatan ini difasilitasi KLK, BMKG, BNPB, BRIN, IRI Indonesia, serta CIFOR-ICRAF.
Tujuannya ialah membekali para tokoh keagamaan dengan pengetahuan ilmiah yang kontekstual tentang deforestasi, perubahan iklim, dan mitigasi bencana.
Pendekatan ini bukan tanpa alasan. Menurut Wening, tokoh agama memiliki peran strategis.
“Pemuka agama bisa menjadi motor penggerak karena memiliki jaringan luas dan kepercayaan publik. Mereka kami ajak untuk turut menanam pohon dan menjaga lingkungan,” katanya.
Kementerian pun tidak tinggal diam. Untuk mendukung partisipasi aktif masyarakat, termasuk para tokoh agama, pemerintah menyediakan bibit pohon gratis. Upaya ini diharapkan memicu kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga bumi—sebuah misi yang bersifat spiritual sekaligus ekologis.
Data dari BNPB memperkuat urgensi program ini. Hingga 15 Desember 2024, terjadi 1.942 peristiwa bencana alam. Dari angka itu, 95 persen adalah bencana hidrometeorologi.
Bencana-bencana ini menewaskan 469 orang. Sebanyak 58 orang masih dinyatakan hilang. Sementara 1.157 lainnya harus menjalani perawatan medis. Tak hanya korban jiwa, bencana juga meninggalkan kerusakan besar: lebih dari 61 ribu rumah warga rusak, 10 ribu di antaranya rusak berat.
Angka-angka itu bukan hanya statistik. Ia adalah pengingat bahwa perubahan iklim sudah nyata dan perlu dijawab dengan cara baru—cara yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk mereka yang memiliki suara dan hati umat.
Wening menegaskan bahwa pelestarian hutan bukan semata tugas teknis kehutanan.
“Pelestarian hutan tidak hanya soal teknis kehutanan, tapi juga menyangkut tanggung jawab moral kita kepada generasi mendatang,” ujarnya.