Menurutnya, diplomasi pada hakikatnya adalah upaya luhur untuk menghindari perang dan kekerasan melalui pertarungan otak.
"Diplomasi itu adalah upaya untuk menghindari politik kekerasan," ujar Rocky.
Namun, hakikat itu kini telah tergerus. Di era modern yang didominasi efisiensi teknologi dan kepentingan ekonomi, diplomasi kehilangan jiwanya.
Perang tidak lagi dianggap biadab, melainkan efisien, karena bisa dilakukan dari jarak jauh menggunakan drone dan kecerdasan buatan (AI).
Akibatnya, fungsi diplomasi pun direduksi secara drastis.
"Ilmu diplomasi sekarang diubah menjadi ilmu untuk memungkinkan ada transaksi dagang dengan negara lain. Cuma itu sekarang," kritik Rocky.
Ia menjelaskan bahwa diplomasi tidak lagi menjadi ajang adu retorika dan logika untuk mencari kebenaran, melainkan hanya menjadi alat untuk memuluskan kepentingan ekonomi. Kemampuan bernegosiasi kini digantikan oleh model-model ekonometri yang dingin dan transaksional.
Jalan Keluar: Moralitas Negara Kecil dan Kekuatan Akal Sehat
Di tengah pesimisme ini, Rocky Gerung justru melihat secercah harapan dari negara-negara kecil seperti Timor-Leste.
Baca Juga: Anak Otto Hasibuan Dicap Dungu, Rocky Gerung: Apa Pun yang Didalilkan, Jokowi Adalah Pembohong!
Ketika negara-negara adidaya terjebak dalam absurditas perang nuklir—di mana "menang jadi arang, kalah jadi abu"—justru negara kecillah yang memiliki kekuatan moral untuk bersuara.
"Siapa yang bisa menegur itu? Bukan negara besar. Negara kecil harus menegur itu," tegasnya.
Rocky mendorong agar Timor-Leste tidak terjebak dalam perlombaan senjata, melainkan mengunggulkan apa yang menjadi kekuatannya: diplomasi yang berbasis pada pertarungan pikiran dan moral.
Ide ini sejalan dengan seruan Xanana untuk menghidupkan kembali pendidikan yang mengasah logika dan filsafat.