Salah satu penyebar utama disinformasi yang disebut dalam laporan adalah Donald Trump. Klaimnya bahwa perubahan iklim adalah “tipuan besar” terus diulang oleh banyak akun media sosial, termasuk bot. Intelijen Rusia juga dituduh menggunakan peternakan troll untuk menyebarkan kebohongan serupa.
Namun Jensen menekankan bahwa masalah ini tak hanya soal media sosial. “Aliansi antara industri dan lembaga pemikir konservatif secara aktif menarget orang-orang yang membuat keputusan. Hubungan ini sangat mengkhawatirkan karena mendekati konspirasi.”
Di Eropa, partai-partai populis sayap kanan seperti AfD di Jerman, Vox di Spanyol, dan National Rally di Prancis juga turut memperkuat keraguan publik terhadap ilmu iklim. Media konservatif ikut memperbesar dampaknya dengan mengedarkan teori konspirasi dan penyangkalan.
Beberapa langkah sudah dilakukan. Uni Eropa, misalnya, menerapkan Digital Services Act untuk memperkuat moderasi konten di platform digital. Ada juga tuntutan agar perusahaan bahan bakar fosil secara terbuka menyampaikan emisi mereka.
Meski begitu, laporan ini menyoroti kesenjangan dalam riset global. Dari 300 studi yang ditinjau, hanya satu yang berfokus pada Afrika. Jensen menyebut masih banyak wilayah dan bahasa yang belum tersentuh dalam studi soal misinformasi iklim.
Jika tak segera ditangani, krisis informasi ini bisa mempercepat bencana iklim. Misinformasi tak sekadar membingungkan publik, tapi memperlambat tindakan penting yang dibutuhkan dunia untuk menyelamatkan bumi.