Ia menegaskan, sebelum bahan pangan menjadi sampah, masyarakat harus bisa memanfaatkannya terlebih dahulu agar tetap bernilai dan tidak langsung berakhir di tempat pembuangan akhir atau incinerator.
Arief menyampaikan pemilahan antara sampah organik, anorganik, dan plastik harus diperkuat agar setiap jenis dapat diolah sesuai fungsinya, termasuk memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat.
Sampah organik seperti sisa makanan dapat diolah menjadi pakan maggot atau kompos, sementara minyak jelantah dan plastik bisa dikumpulkan untuk didaur ulang dan menghasilkan pendapatan tambahan.
"Kalau masih bisa dimanfaatkan itu dibiasakan, sampah anorganik, sampah plastik. Yang plastik buat apa, yang organik buat apa. Jadi bicara food waste itu penangananya terakhir yang dibuang ke TPA, itu terakhir," ujarnya.
Arief menekankan pentingnya memperhatikan aspek ekonomi dari pengelolaan sampah agar kesadaran masyarakat tumbuh dalam melihat bahwa sampah masih memiliki potensi manfaat yang besar.
"Kalo plastik itu ada pengumpulnya lagi, minyak jelantah ada pengumpulnya lagi. Dan itu masih jadi uang lagi loh, aspek ekonominya yang harus disampaikan kepada publik," imbuh Arief.
Sebelumnya, Direktur Kewaspadaan Pangan Bapanas Nita Yulianis menyatakan, tingginya intensitas sampah pangan di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi signifikan yang diperkirakan mencapai sekitar Rp551 triliun per tahun.
Oleh karena itu, penanganan sisa pangan atau pangan berlebih saat ini telah menjadi isu serius serta memerlukan perhatian berbagai pihak tidak hanya sektor pangan namun juga pihak lainnya seperti pariwisata.
"Akibat besarnya intensitas sampah pangan ini setidaknya dampak kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai sekitar Rp551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia," kata Nita saat menjadi narasumber pada Forum Jejaring Industri Pariwisata Berkelanjutan sebagaimana keterangan di Jakarta, Jumat (16/5).
Baca Juga: Kasus Korupsi Dana Hibah Jatim, KPK Sita Aset Milik Legislator Gerindra Anwar Sadad di Dua Lokasi
Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak termasuk pelaku pariwisata untuk mengambil peran aktif dalam upaya penanganan sisa pangan pada sektor tersebut dalam upaya mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan.
Ia menyebutkan, Indonesia tercatat membuang sampah makanan antara 23 juta hingga 48 juta ton per tahun. Beragam dampak yang muncul dari kondisi tersebut, seperti dampak ekonomi serta dampak emisi gas rumah kaca.
Bapanas sejak 2022 terus mendorong Gerakan Selamatkan Pangan (GSP) melalui kolaborasi dengan berbagai pihak mulai akademisi, bisnis, masyarakat, pemerintah, dan media untuk mengurangi sisa pangan secara terukur dan berkelanjutan.