Sejarah Pacu Jalur, Tradisi Asli Kuansing Riau yang Viral gegara Aura Farming

Eko Faizin Suara.Com
Sabtu, 05 Juli 2025 | 10:35 WIB
Sejarah Pacu Jalur, Tradisi Asli Kuansing Riau yang Viral gegara Aura Farming
Sejarah Pacu Jalur, Tradisi Asli Kuansing Riau yang Viral gegara Aura Farming [wonderfulimages.kemenparekraf.go.id]

Suara.com - Festival Pacu Jalur yang digelar setiap tahun di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau mendadak menjadi perhatian di media sosial.

Pacu Jalur viral setelah banyak konten terutama di TikTok yang menampilkan video Aura Farming. Dalam video singkat itu, menirukan gaya anak yang ada di dalam Pacu Jalur atau yang disebut Anak Coki.

Aksi anak pacu jalur tersebut kompak memutar tangan dan mengayunkan badan demi menjaga keseimbangan jalur saat melaju deras di Sungai Kuantan.

Tak heran jika tradisi lokal ini mendadak ramai diperbincangkan di berbagai platform digital.

Menurut Know Your Meme salah satu situs untuk membagikan video viral, fenomena aura farming mulai ramai sejak September 2024, dan kini menjadi medium baru yang memperkenalkan budaya lokal Indonesia ke panggung global secara emosional dan atraktif.

Namun jauh sebelum ramai di jagat maya, Pacu Jalur telah mengakar kuat sebagai tradisi masyarakat Kuansing, diwariskan turun-temurun sejak era kolonial sebagai bagian dari perayaan adat dan wujud syukur atas hasil panen.

Kepala Dinas Pariwisata Riau, Roni Rakhmat mengungkapkan kebanggaannya atas meluasnya popularitas Pacu Jalur.

"Tentu ini merupakan kebanggaan luar biasa bagi kami, bagi Riau dan khususnya Kuansing," katanya, Jumat (4/7/2025).

Roni menjelaskaskan bahwa Pacu Jalur adalah Warisan Budaya Takbenda yang diakui secara nasional oleh Kementerian Kebudayaan.

Baca Juga: Aura Farming Anak Coki Viral, Pacu Jalur Kuansing Diklaim Berasal dari Malaysia

Berikut ini merupakan sejalah Pacu Jalur yang kini viral di media sosial melalui narasi Aura Farming.

Sejarah Pacu Jalur

Pacu Jalur merupakan pesta rakyat yang menjadi kebanggaan masyarakat Kuansing yang sudah ada sejak abad ke-17 silam.

Perahu kayu panjang yang disebut "jalur" yang berfungsi sebagai alat transportasi utama bagi penduduk desa-desa di sepanjang Sungai Kuantan.

Sungai tersebut membentang dari Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Cerenti di hilir dan menjadi jalur sangat penting karena sarana transportasi darat belum berkembang.

Pada masa itu, warga memanfaatkan jalur untuk mengangkut hasil pertanian seperti pisang dan tebu, sekaligus menjadi alat angkut massal yang mampu menampung sekitar 40 hingga 60 orang.

Seiring berjalannya waktu, jalur-jalur tersebut mulai dihias dengan ukiran-ukiran artistik seperti kepala ular, buaya, atau harimau baik di bagian badan perahu maupun pada selembayung (hiasan ujung jalur).

Hiasan lain seperti payung, tali hias, selendang warna-warni, serta gulang-gulang (tiang tengah) dan lambai-lambai (tempat berdirinya juru mudi), turut mempercantik tampilan jalur.

Perkembangan hiasan ini bukan sekadar estetika; ia menjadi simbol status sosial.

Ketika itu, hanya kaum bangsawan, pemimpin adat, dan tokoh masyarakat yang memiliki jalur berhias megah sebagai penanda kehormatan dan kekuasaan mereka.

Sekitar seabad kemudian, warga menemukan sisi lain dari jalur yang tak kalah menarik, yakni kecepatan.

Muncullah gagasan untuk memperlombakan jalur dalam adu cepat menyusuri Sungai Kuantan. Dari sinilah Pacu Jalur sebagai sebuah perlombaan mulai dikenal.

Pada awalnya, perlombaan ini digelar di kampung-kampung sepanjang sungai sebagai bagian dari perayaan hari-hari besar Islam.

Namun seiring berjalan-nya waktu, Pacu Jalur kemudian dipusatkan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada bulan Agustus.

Setiap tahun saat lomba digelar, Kota Jalur berubah menjadi lautan manusia. Kemacetan lalu lintas tak terelakkan, sementara warga perantauan berbondong-bondong pulang kampung hanya untuk menyaksikan momen bersejarah ini. Adapun, jumlah jalur yang ikut bertanding bisa mencapai lebih dari 100 unit.

Bagi masyarakat Kuansing, jalur adalah perahu besar yang terbuat dari satu batang kayu bulat utuh tanpa sambungan, dikayuh oleh sekitar 45 hingga 60 orang yang disebut anak pacu.

Pacu Jalur sendiri diyakini telah menjadi tradisi tahunan sejak 1903 dan kini tercatat sebagai agenda wisata resmi Pemprov Riau untuk menarik wisatawan domestik maupun mancanegara, khususnya ke Kuansing

Di masa kolonial Belanda, Pacu Jalur diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan adat dan kenduri rakyat, sekaligus untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina, yang jatuh pada 31 Agustus. Saat itu, perlombaan biasanya berlangsung selama dua hingga tiga hari, tergantung dari banyaknya jalur yang ikut bertanding.

Kini, Pacu Jalur tampil semakin semarak dengan warna-warni kostum para pendayung, dentuman meriam sebagai tanda lomba dimulai, serta sorak-sorai penyemangat yang menambah semarak budaya khas Kuansing. Inilah warisan lokal yang layak dinikmati sekaligus dilestarikan. (Antara)

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI