Prabowo Bakal 'Kirim' Gibran Berkantor di Papua, Misi Mustahil atau Solusi Jitu?

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 08 Juli 2025 | 14:27 WIB
Prabowo Bakal 'Kirim' Gibran Berkantor di Papua, Misi Mustahil atau Solusi Jitu?
Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka. [Instagram @gibran_rakabuming]

"Jika tidak melalui negosiasi, masalah akan semakin rumit," tegas Sebby Sembom.

'Kami Seperti Penonton'

Di tengah mega proyek pemerintah, suara Orang Asli Papua (OAP) justru kerap terabaikan. Kaspar Kahol, seorang pemburu dari Wanam, Papua Selatan, kini cemas karena hutan adat tempatnya mencari nafkah masuk dalam proyek lumbung pangan.

"Kami mau aktivitas cari makan ke mana? Kami berharap ke siapa?" katanya. "Kalau sudah digusur semua, kami mau mencari ke mana? Setelah satu [hutan] digusur, pasti dia [pemerintah] akan gusur semuanya."

Kaspar dan warga lainnya merasa tidak pernah diajak berunding. Mereka hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.

"Kok tiba-tiba masuk seperti pencuri?" tanya Yasinta Moiwend, perempuan adat dari Wanam, dengan nada kecewa. "Kami mau mengadu ke siapa lagi? Kami sudah usahakan sampai ke Jakarta. Tapi tidak ada tanggapan."

Kunci di Meja Dialog, Bukan Proyek

Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka saat mendatangi Muara Kate. [Ist]
Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka saat mendatangi Muara Kate. [Ist]

Para akademisi sepakat, akar masalah Papua tidak akan selesai hanya dengan infrastruktur. Adriana Elisabeth, anggota Jaringan Damai Papua, menegaskan kunci penyelesaian konflik ada pada dialog.

"Negosiasi itu mendengar. Mendengar apa keberatannya orang Papua. Apa persoalannya? Kenapa negara melakukan ini? Kenapa orang Papua selalu menolak?" tuturnya. "Hal itu hanya muncul kalau kita berdialog."

Baca Juga: Prabowo Perintahkan Gibran Kerja dari Papua, TPNPB-OPM: Dia Bisa Apa?

Menurutnya, pemerintah selama ini gagal memahami representasi masyarakat Papua yang berbasis suku dan marga. Negara kerap menganggap tanah di Papua kosong, padahal sudah ada pemilik adatnya jauh sebelum Indonesia terbentuk.

"Mereka kemudian memanfaatkan tanah di Papua tanpa berkomunikasi dengan masyarakat adat. Ini yang selalu menjadi kontradiksi dalam perspektif pembangunan," katanya.

Di tengah rencana besar pemerintah menugaskan Gibran, suara perlawanan dari masyarakat adat seperti Yasinta Moiwend masih menggema kuat, menuntut untuk didengar.

"Sampai kapan pun, saya akan melawan. Saya akan melawan. Dan kami tidak akan rela untuk berikan tanah kami," Yasinta menegaskan. "Kami tetap tolak."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI