Prabowo Bakal 'Kirim' Gibran Berkantor di Papua, Misi Mustahil atau Solusi Jitu?

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 08 Juli 2025 | 14:27 WIB
Prabowo Bakal 'Kirim' Gibran Berkantor di Papua, Misi Mustahil atau Solusi Jitu?
Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka. [Instagram @gibran_rakabuming]

Suara.com - Pemerintah tengah menggodok rencana 'luar biasa': menugaskan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk turun langsung mengatasi sengkarut masalah di Papua. Arahan ini disebut datang langsung dari Presiden Prabowo Subianto, bahkan dengan wacana Gibran akan berkantor di Bumi Cenderawasih.

Disitat dari BBC Indonesia, rencana ambisius ini diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra.

"Saya kira ini pertama kali presiden akan memberikan penugasan untuk menangani masalah Papua. Bahkan kantor wakil presiden juga akan ada di Papua, supaya wakil presiden itu bekerja dari Papua sembari menangani masalah Papua," kata Yusril, Rabu (02/07).

Namun, langkah ini langsung disambut dengan skeptisisme tajam. Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sembom, tanpa basa-basi mempertanyakan kapabilitas Gibran.

"Apa kualifikasinya untuk selesaikan masalah di Papua? Tidak mungkin berhasil," cetus Sebby.

Bukan Hal Baru, Akankah Bernasib Sama?

Menugaskan wakil presiden untuk mengurus Papua bukanlah hal baru. Pada 2022, Ma'ruf Amin memegang mandat serupa sebagai Ketua Badan Pengarah Percepatan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP). Ma'ruf bahkan sempat berkantor selama lima hari di Papua pada Oktober 2023 untuk berdialog dengan berbagai tokoh.

"Tolong dengar aspirasi mereka, dengar apa maunya mereka. Catat dan laporkan segera supaya kita dapat mencari solusi terbaik untuk Papua," kata Ma'ruf Amin saat itu.

Namun, hasilnya dinilai belum signifikan. Kini, sorotan beralih ke Gibran, yang setelah dilantik belum pernah menginjakkan kaki di Papua sebagai wakil presiden. Kunjungan terakhirnya terjadi saat kampanye Januari 2024, di mana ia berjanji pemerataan pembangunan akan menjadi atensi utamanya.

Baca Juga: Prabowo Perintahkan Gibran Kerja dari Papua, TPNPB-OPM: Dia Bisa Apa?

"Akses konektivitas jalan-jalan desa, jalan nasional, apa pun itu, wajib di Tanah Papua," sambung Gibran kala itu.

Pembangunan Masif, Tapi Dialog Nihil

Presiden RI Prabowo Subianto berbincang dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad sebelum bertolak dari Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (1/7/2025). ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden RI Prabowo Subianto berbincang dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad sebelum bertolak dari Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (1/7/2025). ANTARA/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden

Pendekatan pemerintah di Papua selama ini terfokus pada pembangunan fisik dan keamanan, sebuah warisan dari era Presiden Joko Widodo. Jokowi tercatat telah 18 kali mengunjungi Papua, menggelontorkan triliunan dana Otsus, membangun Jalan Trans Papua, hingga memekarkan empat provinsi baru.

"Saya sampaikan bahwa pembangunan Indonesia sekarang bukan Jawa-sentris, tetapi Indonesia-sentris, dan Tanah Papua menjadi prioritas dari pembangunan yang kita lakukan," papar Jokowi pada 2023.

Namun, pembangunan masif ini diiringi kritik tajam. Data menunjukkan deforestasi besar-besaran dan konflik yang tak kunjung padam. Laporan Auriga Nusantara menyebut periode pertama pemerintahan Jokowi menyumbang deforestasi paling banyak, hampir 300 ribu hektare hutan lenyap dalam rentang 2015-2019.

Pendekatan keamanan juga menghasilkan ribuan penangkapan dengan tuduhan makar dan gelombang pengungsian akibat konflik bersenjata. Bagi OPM, solusi satu-satunya adalah perundingan.

"Jika tidak melalui negosiasi, masalah akan semakin rumit," tegas Sebby Sembom.

'Kami Seperti Penonton'

Di tengah mega proyek pemerintah, suara Orang Asli Papua (OAP) justru kerap terabaikan. Kaspar Kahol, seorang pemburu dari Wanam, Papua Selatan, kini cemas karena hutan adat tempatnya mencari nafkah masuk dalam proyek lumbung pangan.

"Kami mau aktivitas cari makan ke mana? Kami berharap ke siapa?" katanya. "Kalau sudah digusur semua, kami mau mencari ke mana? Setelah satu [hutan] digusur, pasti dia [pemerintah] akan gusur semuanya."

Kaspar dan warga lainnya merasa tidak pernah diajak berunding. Mereka hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.

"Kok tiba-tiba masuk seperti pencuri?" tanya Yasinta Moiwend, perempuan adat dari Wanam, dengan nada kecewa. "Kami mau mengadu ke siapa lagi? Kami sudah usahakan sampai ke Jakarta. Tapi tidak ada tanggapan."

Kunci di Meja Dialog, Bukan Proyek

Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka saat mendatangi Muara Kate. [Ist]
Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka saat mendatangi Muara Kate. [Ist]

Para akademisi sepakat, akar masalah Papua tidak akan selesai hanya dengan infrastruktur. Adriana Elisabeth, anggota Jaringan Damai Papua, menegaskan kunci penyelesaian konflik ada pada dialog.

"Negosiasi itu mendengar. Mendengar apa keberatannya orang Papua. Apa persoalannya? Kenapa negara melakukan ini? Kenapa orang Papua selalu menolak?" tuturnya. "Hal itu hanya muncul kalau kita berdialog."

Menurutnya, pemerintah selama ini gagal memahami representasi masyarakat Papua yang berbasis suku dan marga. Negara kerap menganggap tanah di Papua kosong, padahal sudah ada pemilik adatnya jauh sebelum Indonesia terbentuk.

"Mereka kemudian memanfaatkan tanah di Papua tanpa berkomunikasi dengan masyarakat adat. Ini yang selalu menjadi kontradiksi dalam perspektif pembangunan," katanya.

Di tengah rencana besar pemerintah menugaskan Gibran, suara perlawanan dari masyarakat adat seperti Yasinta Moiwend masih menggema kuat, menuntut untuk didengar.

"Sampai kapan pun, saya akan melawan. Saya akan melawan. Dan kami tidak akan rela untuk berikan tanah kami," Yasinta menegaskan. "Kami tetap tolak."

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI