Menteri Ara Lempar Handuk! Daripada Rumah Subsidi Diperkecil Lebih Baik Rusunawa

Kamis, 10 Juli 2025 | 18:18 WIB
Menteri Ara Lempar Handuk! Daripada Rumah Subsidi Diperkecil Lebih Baik Rusunawa
Menteri PKP Maruarar Sirait secara mendadak mengumumkan bahwa rumah subsidi diperkecil menjadi 18 meter persegi dibatalkan. (Suara.com/Novian)

Suara.com - Ide kontroversial rumah subsidi seukuran 18 meter persegi resmi mati sebelum berkembang.

Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman, Maruarar Sirait, secara mengejutkan mengumumkan pembatalan rencana tersebut dan meminta maaf secara terbuka.

Langkah ini diambil setelah gagasan 'rumah darurat bencana' untuk hunian permanen itu dihantam kritik tajam dari berbagai kalangan, termasuk pakar arsitektur yang menilainya sebagai resep menciptakan kawasan kumuh baru.

Dalam Rapat Kerja bersama Komisi V DPR RI, Maruarar Sirait mengakui bahwa ide yang digulirkannya kurang tepat, meskipun niat awalnya baik untuk menyediakan hunian bagi anak muda di perkotaan.

"Saya sudah mendengar begitu banyak masukan termasuk dari teman-teman anggota DPR Komisi V, maka saya terbuka menyampaikan permohonan maaf dan saya cabut itu ide itu," kata Maruarar di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025).

Ia mengakui perlunya belajar lagi soal komunikasi publik sebelum melontarkan sebuah wacana.

"Mungkin kami juga masih belajar bahwa ide-ide di ranah publik harus lebih baik lagi. Tujuannya sebenarnya sederhana, karena kami mendengar banyak sekali anak muda yang ingin sekali tinggal di kota, tapi kalau tanahnya di kota mahal," jelasnya.

Resep Ciptakan Kawasan Kumuh

Pembatalan ini seolah mengonfirmasi kritik pedas yang sebelumnya dilontarkan oleh pakar arsitektur dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ikaputra.

Baca Juga: Maruarar Sirait Minta Maaf di DPR, Umumkan Ide Rumah Subsidi Diperkecil Batal Dilaksanakan

Ia menilai bahwa rencana tersebut sejak awal sudah keliru karena mengadopsi standar hunian darurat untuk solusi perumahan permanen.

"Ukuran 18 meter persegi itu merupakan standar minimum internasional untuk hunian darurat pascabencana. Konteksnya bukan untuk permanen. Jika memang ingin digunakan untuk jangka panjang, maka perencanaan tumbuhnya harus jelas,” kata Ikaputra.

Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Republik Indonesia bersama Lippo Group baru-baru ini memamerkan prototipe rumah subsidi dengan ukuran supermini yang langsung mencuri perhatian publik. (Suara.com/Faqih)
Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Republik Indonesia bersama Lippo Group baru-baru ini memamerkan prototipe rumah subsidi dengan ukuran supermini yang langsung mencuri perhatian publik. (Suara.com/Faqih)

Menurutnya, akar masalah yang lebih berbahaya bukan pada ukuran bangunannya, melainkan pada luas lahan yang direncanakan hanya 25 meter persegi.

Masih menurut Ikaputra, yang tersisa kemudian hanya 7 meter persegi untuk pengembangan, sebuah ruang yang mustahil untuk sebuah keluarga yang bertumbuh.

"Masalahnya bukan di rumah 18 meter perseginya, tetapi pada lahannya yang terlalu sempit. Idealnya, lahan harus bisa mengakomodasi pengembangan setidaknya dua kali lipat dari bangunan awal, bahkan ditambah ruang terbuka hijau,” tuturnya.

Tanpa perencanaan yang matang, Ikaputra khawatir kebijakan tersebut hanya akan menjadi bom waktu yang melahirkan kawasan padat dan kumuh baru, terutama 'di wilayah perkotaan yang sensitif terhadap kepadatan penduduk.'

Sebagai solusi alternatif yang lebih realistis untuk mengatasi keterbatasan lahan di kota, Ikaputra mengusulkan pembangunan vertikal seperti rumah susun sewa (rusunawa).

Ia mengingatkan bahwa esensi dari sebuah rumah bukan sekadar bangunan, melainkan sebuah ruang hidup yang terencana dengan baik, mulai dari struktur aman gempa hingga peluang pengembangan di masa depan.

"Yang penting bukan hanya besar rumahnya, tapi bagaimana rumah itu bisa berkembang dengan aman dan manusiawi," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI