Suara.com - Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di DPR RI menuai kritik tajam.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai proses yang berjalan sangat cepat, tertutup, dan sarat pelanggaran prinsip negara hukum serta hak asasi manusia.
YLBHI pun menyebut langkah ini sebagai salah satu warisan paling buruk pemerintahan Presiden Prabowo dan DPR dalam sejarah reformasi hukum.
YLBHI menegaskan, RKUHAP sejatinya memang perlu direformasi. KUHAP 1981 dinilai sudah lama membuka peluang praktik sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum seperti penyidik, jaksa, hakim, dan lembaga pemasyarakatan.
Selain tak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, KUHAP lama juga dianggap ketinggalan zaman dibanding banyak undang-undang lain yang lebih modern dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.
Namun harapan reformasi itu kini berubah menjadi keprihatinan. Dalam dua hari saja, yakni pada 10–11 Juli 2025, DPR RI membahas 1.676 daftar isian masalah.
Kilatnya pembahasan itu, menurut YLBHI, sama sekali tak sejalan dengan prinsip kehati-hatian penyusunan undang-undang, apalagi yang berdampak langsung pada kehidupan jutaan warga.
Dalam rilis LBH/YLBHI Minggu 13 Juli 2025, RKUHP dinilai bukan hanya cepat, draf RKUHAP pun disebut muncul tiba-tiba.
Pada awal Februari 2025, DPR langsung mengusulkan draf yang kemudian disepakati menjadi draf versi DPR di awal Maret.
Baca Juga: Fadli Zon Tetapkan 17 Oktober Jadi Hari Kebudayaan Nasional, Pas dengan Hari Lahir Prabowo
Beberapa anggota DPR bahkan mengaku tak tahu asal-usul draf itu dan tak pernah membahasnya di rapat terbuka.
Akademisi yang dilibatkan pun hanya diundang dua kali dan mengaku tak pernah diajak mendiskusikan substansi pasal.
Lebih mengkhawatirkan lagi, substansi RKUHAP yang tengah dibahas justru memperluas kewenangan aparat penegak hukum. Menurut catatan YLBHI dan koalisi masyarakat sipil, ada sejumlah pasal yang dinilai rawan disalahgunakan.
Mulai dari kewenangan penangkapan hingga tujuh hari, penahanan tanpa izin pengadilan, penggeledahan dan penyitaan dengan alasan mendesak yang dinilai secara subjektif oleh penyidik, hingga penyadapan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat.
Dalam draf RKUHAP baru ini, polisi juga akan menjadi penyidik utama untuk hampir semua tindak pidana, kecuali untuk beberapa institusi tertentu seperti KPK dan TNI. Bahkan TNI di semua matra juga bisa menjadi penyidik tindak pidana umum.
Posisi aparat kepolisian menjadi sangat dominan, sementara mekanisme pengawasan eksternal yang independen tidak diperkuat.