Suara.com - Pertanyaan besar menyelimuti tragedi kemanusiaan yang terkuak di sebuah rumah sunyi di Desa Mojo, Andong, Boyolali.
Bagaimana mungkin empat anak laki-laki, yang tidak memiliki ikatan darah sama sekali dengan pemilik rumah, bisa berakhir dalam kondisi terikat rantai, kelaparan, dan penuh luka?
Kisah ini bukanlah tentang kenakalan anak yang dihukum, melainkan tentang kepercayaan yang dikhianati secara brutal.
Untuk memahami mengapa mereka berada di sana, kita harus mundur ke awal mula sebuah janji yang ditawarkan oleh SP, seorang pria berusia 65 tahun.
Berawal dari Janji Pendidikan Agama
![Empat bocah dirantai, dibiarkan kelaparan, dan dieksploitasi oleh guru ngaji mereka SP (65) di Desa Mojo, Kecamatan Andong, Boyolali. [Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/07/14/57475-4-bocah-dirantai-dan-dianiaya-guru-ngaji-boyolali.jpg)
Para korban, MAF 11 tahun dan adiknya VMR 6 tahun berasal dari Kabupaten Batang, sementara kakak beradik, SAW 14 tahun dan IAR tahun berasal dari Kabupaten Semarang.
Orang tua mereka, yang beberapa diantaranya dalam kondisi ekonomi terbatas dan bahkan dua di antaranya adalah yatim, menitipkan anak-anak mereka kepada SP.
Hal itu dilakukan dengan satu harapan mulia agar mereka bisa belajar mengaji dan memperdalam ilmu agama.
SP memposisikan dirinya sebagai seorang guru ngaji, figur yang dipercaya mampu memberikan bimbingan rohani.
Baca Juga: 6 Kekejian Guru Ngaji 4 Bocah Dirantai di Boyolali: Dibiarkan Kelaparan, Dijadikan Budak
Dengan iming-iming pendidikan agama inilah, para orang tua dari luar kota rela menyerahkan anak-anak mereka ke dalam asuhan SP, berharap sebuah masa depan yang lebih baik bagi putra-putra mereka.
Terbongkar karena Lapar yang Tak Tertahankan

Namun, harapan itu sirna, digantikan oleh kenyataan pahit yang tersembunyi rapat di balik pintu rumah SP.
Tirai kekejaman ini akhirnya tersingkap bukan oleh laporan orang dewasa, melainkan oleh aksi nekat salah satu korbannya.
Pada Minggu 13 Juli 2025 dini hari, MAF berhasil lolos dari rumah dan mencoba mencuri kotak amal masjid.
Ketika ditangkap warga, pengakuan MAF menyayat hati. Ia tidak mencuri untuk kesenangan, ia mencuri karena harus memberi makan adik-adiknya.
"Mau makan adiknya karena satu bulan enggak dikasih makan nasi tapi singkong," ujar Kepala Desa Mojo, Bagus Muhammad Muksin, menirukan ucapan bocah itu.
Kepercayaan yang Dibayar dengan Rantai dan Siksaan
Pengakuan itu menuntun warga ke rumah SP, di mana pemandangan yang jauh lebih mengerikan menanti.
Tiga anak lainnya ditemukan dengan kaki terikat rantai, dipaksa tidur di luar rumah tanpa alas dan selimut. Mereka kurus, kotor, dan ketakutan.
Saat diberi makan nasi dan telur, makanan itu ludes dalam hitungan menit, menjadi bukti nyata betapa mereka kelaparan.
Pemeriksaan lebih lanjut oleh bidan desa menemukan banyak luka memar di tubuh mereka, bekas pukulan benda tumpul.
Anak-anak itu awalnya terlalu takut untuk bicara, memohon agar perbuatan SP tidak dilaporkan karena khawatir akan dianiaya lebih parah lagi.
Diduga Modus Eksploitasi, Bukan Mendidik

Fakta bahwa SP bukan keluarga dan berasal dari latar belakang yang tidak jelas menimbulkan kecurigaan besar.
Pihak desa menduga, SP menjadikan anak-anak ini sebagai alat atau modus untuk mendapatkan belas kasihan dan bantuan dari warga sekitar.
Dengan statusnya yang sering berpindah-pindah, pola eksploitasi ini diduga telah berjalan lama.
Anak-anak dari Batang telah tinggal bersamanya selama dua tahun, sementara yang dari Semarang sudah setahun menanggung derita.
Mereka datang untuk belajar, namun yang mereka dapatkan adalah rantai, lapar, dan siksaan.
SP saat ini telah diamankan oleh Polres Boyolali untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Tragedi ini menjadi pengingat pahit bahwa niat baik orang tua bisa dimanfaatkan secara keji oleh predator berkedok pendidik.
Bahkan bisa dipastikan meninggalkan luka fisik dan trauma mendalam pada jiwa-jiwa kecil yang hanya mendambakan ilmu dan kasih sayang.