Suara.com - Nama perusahaan Wilmar Grup kembali menjadi perbincangan setelah namanya disebut sebagai salah satu perusahaan yang berlaku curang dalam memasarkan produk beras premium.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyebut ada 212 perusahaan yang memproduksi beras telah melakukan pengoplosan dan pelanggaran standar mutu.
Beberapa merek yang disebut Mentan dalam konferensi pers di antaranya adalah Sania, Sovia, Fortune, dan Siip diproduksi oleh Wilmar Group.
Lalu merek Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Setra Pulen milik Food Station Tjipinang Jaya. Raja Platinum, Raja Ultima milik PT Belitang Panen Raya dan beras merek Ayana diproduksi oleh PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group).
Wilmar Grup adalah perusahaan besar di mana salah satu pendirinya adalah orang Indonesia bernama Martua Sitorus.
Berdasarkan data terbaru di Forbes, kekayaan Martua Sitorus melonjak tajam di tahun 2025 menjadi USD 3,5 miliar.
Di tengah panggung konglomerat Indonesia yang kerap diisi oleh wajah-wajah familiar, nama Martua Sitorus bersinar dengan cara yang berbeda.
Ia adalah arsitek di balik Wilmar International, sebuah imperium agribisnis global yang mengendalikan sebagian besar rantai pasok minyak sawit dunia.
Namun, sosoknya sendiri justru sangat low profile, jauh dari hiruk pikuk media dan sorotan publik.
Bagi konsumen di kota-kota besar, Wilmar mungkin lebih dikenal melalui produk minyak goreng Sania dan Fortune yang setia mengisi rak-rak supermarket.
Baca Juga: Beras Oplosan Hal yang Lazim? Begini Penjelasan Bos Bapanas
Namun, kisah pendirinya adalah sebuah masterclass dalam visi bisnis, kegigihan, dan kekuatan kemitraan strategis.
Lahir dari kota kecil Pematangsiantar, Martua Sitorus membuktikan bahwa dari titik nol sekalipun, seorang anak bangsa bisa membangun kerajaan bisnis yang disegani di kancah internasional.
Inilah profil lengkap sang "Raja Minyak Sawit" dan lonjakan kekayaannya menurut data terbaru.
Dari Siantar ke Panggung Dunia
Martua Sitorus, yang memiliki nama Tionghoa Thio Seng Hap, lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada 6 Februari 1960.
Bakat bisnisnya terasah sejak dini, bukan langsung dari kebun sawit, melainkan dari perdagangan komoditas lokal seperti udang dan ikan.