Suara.com - Belum hilang dari ingatan publik tragedi memilukan yang menimpa Juliana Marins, kini Gunung Rinjani kembali menjadi saksi bisu insiden kecelakaan yang menimpa wisatawan mancanegara.
Seorang turis asal Swiss berinisial BE (46) dilaporkan terjatuh di jalur menuju Danau Segara Anak, mengalami patah kaki dan luka di kepala.
Insiden ini sontak memantik kembali pertanyaan besar: apakah pesona Rinjani kini sebanding dengan risikonya, dan apakah semua peringatan yang ada hanya dianggap angin lalu?
Kecelakaan yang menimpa turis Swiss ini terjadi pada Selasa (15/7/2025) sekitar pukul 10.00 WITA.
Korban, yang sedang dalam perjalanan menuju basecamp Segara Anak, terpeleset di jalur bebatuan yang dikenal cukup menantang.
Ketua Tim Evakuasi Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Gede Mustika, mengonfirmasi kejadian tersebut.
"Jadi terpeleset di jalur. Mungkin jatuhnya kurang bagus makanya patah," ucapnya dikutip Rabu (16/7/2025).
Tim evakuasi gabungan langsung bergerak cepat untuk mengevakuasi korban dari lokasi yang sulit dijangkau.
Insiden ini seolah membuka kembali luka lama atas meninggalnya pendaki asal Brasil, Juliana Marins, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Pahlawan Rinjani dan Diaspora Toraja: Kisah di Balik Donasi Rp1,3 Miliar dari Brasil
Kematian Juliana yang viral itu mengungkap betapa berbahayanya medan Rinjani, terutama di jalur-jalur ekstrem menuju puncak.
Kala itu, proses evakuasi yang sulit akibat medan terjal dan cuaca buruk menjadi sorotan nasional bahkan internasional.
Kini, dengan jatuhnya korban lagi, meski tidak fatal, publik bertanya-tanya, mengapa Rinjani seolah tak pernah berhenti menelan korban?
Mengapa Rinjani Tidak Ditutup Total?
Pertanyaan ini kerap muncul setiap kali ada insiden.
Faktanya, penutupan total Gunung Rinjani bukanlah solusi yang sederhana.
Rinjani adalah motor penggerak ekonomi pariwisata yang signifikan bagi Lombok.
Data menunjukkan bahwa kunjungan ke Rinjani menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga belasan miliar rupiah dan menciptakan perputaran uang di masyarakat lokal hingga puluhan miliar.
Menutupnya secara permanen akan mematikan sumber kehidupan banyak pihak, mulai dari porter, pemandu, hingga pelaku usaha di sekitarnya.
Penutupan yang dilakukan secara rutin oleh Balai TNGR biasanya bersifat sementara, yakni untuk pemulihan ekosistem atau karena kondisi cuaca ekstrem seperti musim hujan yang membuat jalur pendakian sangat berbahaya.
Setelah tragedi Juliana Marins, pihak TNGR sebenarnya telah berjanji untuk mengevaluasi dan meningkatkan standar keselamatan, termasuk menambah papan peringatan dan tali pengaman di titik-titik rawan.
Namun, insiden terbaru ini membuktikan bahwa infrastruktur saja tidak cukup.
Pelajaran yang Seharusnya Dipetik: Tanggung Jawab Ada di Pundak Pendaki
Tragedi Juliana dan kecelakaan turis Swiss ini seharusnya menjadi pengingat keras bagi setiap calon pendaki.
Gunung Rinjani bukanlah taman rekreasi biasa yang bisa didatangi tanpa persiapan.
Ini adalah alam liar dengan segala ketidakpastiannya.
Peringatan dari pemerintah setempat dan TNGR memang ada, namun yang paling menentukan adalah kesadaran dan tanggung jawab pribadi.
Para ahli dan pendaki senior selalu menekankan bahwa mendaki Rinjani membutuhkan kesiapan fisik dan mental yang matang, bukan sekadar modal nekat demi konten media sosial.
Kecelakaan sering kali terjadi bukan semata karena medan yang sulit, tetapi juga karena kelalaian, meremehkan kondisi, atau memaksakan diri saat tubuh sudah lelah.
Kasus turis Swiss yang terpeleset di jalur bebatuan adalah contoh klasik bagaimana satu langkah yang salah bisa berakibat fatal.
Seharusnya, setiap calon pendaki, terutama wisatawan mancanegara, menjadikan kasus-kasus ini sebagai studi kasus.
Sebelum membeli tiket dan mengemas ransel, mereka wajib mencari informasi sedetail mungkin mengenai tingkat kesulitan jalur, kondisi cuaca, perlengkapan standar yang wajib dibawa, dan yang terpenting, mengukur kemampuan diri sendiri.
Menggunakan jasa pemandu dan porter lokal yang berpengalaman bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan demi keselamatan.
Karena pada akhirnya, Rinjani akan selalu di sana dengan segala kemegahan dan tantangannya, tinggal bagaimana kita sebagai pendaki menghadapinya dengan bijak.