3 Nalar Janggal di Balik Vonis Tom Lembong: Korupsi Tanpa Korupsi?

Tasmalinda Suara.Com
Rabu, 23 Juli 2025 | 21:51 WIB
3 Nalar Janggal di Balik Vonis Tom Lembong: Korupsi Tanpa Korupsi?
Anies Baswedan menghampiri Tom Lembong, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (9/7/2025). [Suara.com/Dea Hardianingsih Irianto]

Suara.com - Menstabilkan harga gula untuk rakyat, tapi malah divonis korupsi.

Inilah ironi besar dan nalar janggal yang menyelimuti kasus mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, yang kini resmi mengajukan banding.

Kebijakannya pada 2016 terbukti berhasil meredam lonjakan harga gula.

Namun, delapan tahun kemudian, kebijakan itu justru menjadi bumerang yang mengantarkannya ke vonis pengadilan.

Jika tujuannya tercapai dan tidak ada uang yang masuk ke kantong pribadi, lantas di mana letak korupsinya?

Berikut adalah tiga kejanggalan fundamental dalam kasus ini yang membuat publik bertanya-tanya.

1. 'Kerugian Negara' Bukan Uang Hilang, Tapi 'Potensi Cuan' BUMN

Inilah titik paling krusial dan paling aneh.

Dakwaan korupsi biasanya identik dengan uang negara yang dicuri. Namun, dalam kasus Tom Lembong, "kerugian negara" didefinisikan ulang secara radikal.

Baca Juga: Mahfud MD: Kalau Saya Hakimnya, Banding Tom Lembong Dikabulkan!

Negara dianggap rugi bukan karena kehilangan uang, melainkan karena BUMN kehilangan potensi keuntungan.

Logika jaksa yang diamini hakim dapat dijabarkan sebagai berikut:

Tom Lembong memberikan izin impor gula kepada perusahaan swasta yang lebih gesit.

Perusahaan swasta tersebut meraup keuntungan.

Keuntungan itu seharusnya bisa didapat oleh BUMN.

Karena BUMN tidak jadi untung, maka negara dianggap rugi.

Potret Ferry Irwandi (Instagram)
Potret Ferry Irwandi (Instagram)

Logika ini dipatahkan oleh Ferry Irwandi, "Fungsi utama pemerintah itu menyejahterakan rakyat, bukan memaksimalkan profit BUMN." 

Jika logika ini terus digunakan, setiap kebijakan yang tidak menguntungkan BUMN bisa dianggap sebagai tindak pidana.

2. Misi Utama Pejabat: Stabilitas Harga atau Keuntungan Korporasi Negara?

Kasus ini memaksa kita bertanya: apa sebenarnya tugas utama seorang Menteri Perdagangan?

Menjaga harga pangan tetap terjangkau bagi 270 juta rakyat Indonesia, atau memastikan BUMN mencetak laba setinggi-tingginya?

Kebijakan Tom Lembong jelas bertujuan untuk yang pertama.

Di tengah ancaman kenaikan harga menjelang Lebaran, ia mengambil langkah pragmatis tercepat untuk melindungi daya beli masyarakat.

Namun, vonis hakim seolah mengirim pesan bahwa melindungi rakyat dari inflasi tidak lebih penting daripada menjaga "potensi profit" sebuah badan usaha milik negara.

Ini adalah preseden yang membingungkan dan berbahaya bagi para pengambil kebijakan di masa depan.

3. Mengabaikan Realitas Lapangan: Birokrasi Lambat vs Kebutuhan Cepat

Mengapa swasta yang ditunjuk? Persidangan mengungkap fakta bahwa pada 2016, BUMN dinilai tidak memiliki kecepatan dan kesiapan untuk mengatasi potensi kelangkaan gula secara mendesak. Keputusan

Tom Lembong bukanlah tindakan gegabah, melainkan pilihan strategis berdasarkan efisiensi di lapangan.

Namun, vonis tersebut seolah mengabaikan konteks kedaruratan ini. Langkah yang diambil untuk mengatasi masalah nyata di depan mata justru dibingkai sebagai perbuatan kriminal yang lebih mementingkan swasta.

Ini menunjukkan adanya jurang pemahaman antara realitas pengambilan kebijakan yang dinamis dengan interpretasi hukum yang kaku dan formalistis.

Pengajuan banding Tom Lembong kini menjadi pertaruhan tentang akal sehat dalam kebijakan publik.

Apakah hukum akan digunakan untuk menghukum pejabat yang berinovasi demi rakyat, atau akan kembali pada esensinya: mencari keadilan substantif, bukan sekadar kesalahan administratif.

Kasus ini menjadi preseden.

Menurutmu, apakah ini potret keadilan atau justru matinya inovasi kebijakan? Suarakan pendapatmu di kolom komentar!

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI