Viral Istilah Rojali dan Rohana di Mall, Sindiran Buat yang Jalan-jalan Tanpa Membeli?

Riki Chandra Suara.Com
Kamis, 24 Juli 2025 | 18:08 WIB
Viral Istilah Rojali dan Rohana di Mall, Sindiran Buat yang Jalan-jalan Tanpa Membeli?
Sejumlah pengunjung memilih pakaian di Lombok Epicentrum Mal di Mataram, NTB. [Dok. Antara]

Suara.com - Istilah "Rojali dan Rohana" tengah jadi perbincangan dan viral di media sosial. Dua frasa unik yang sering terdengar di pusat perbelanjaan ini bukan sekadar guyonan belaka, tapi mencerminkan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang menarik untuk dicermati.

Kemunculan istilah ini berawal dari fenomena yang kerap dijumpai di pusat perbelanjaan, yakni pengunjung yang datang beramai-ramai tapi tak membeli apa-apa.

Mereka hanya berjalan-jalan, berfoto, bertanya-tanya, dan memanfaatkan berbagai fasilitas gratis. Warganet pun dengan cepat memberi label baru yakni Rojali dan Rohana.

Lantas, apa arti Rojali dan Rohana?

Rojali merupakan singkatan dari “rombongan jarang beli”. Julukan ini merujuk pada kelompok pengunjung yang datang dalam jumlah besar ke mal, tapi tidak melakukan transaksi apapun.

Mereka hanya menikmati pendingin ruangan, Wi-Fi gratis, atau sekadar membuat konten media sosial di spot foto Instagramable.

Berikut ciri khas perilaku Rojali di pusat perbelanjaan:

- Datang beramai-ramai bersama teman atau keluarga.
- Menghabiskan waktu lama di area publik seperti food court atau lorong mal.
- Tidak melakukan pembelian, hanya melihat-lihat atau bertanya harga.
- Menggunakan fasilitas gratis dan merekam konten untuk media sosial.

Di sisi lain, Rohana disebut-sebut sebagai “pasangan” dari Rojali. Meski belum memiliki definisi resmi, istilah ini juga digunakan warganet untuk menggambarkan kelompok dengan perilaku serupa.

Beberapa interpretasi makna Rohana yang berkembang di media sosial di antaranya:

- Rombongan hanya nanya-nanya.
- Rombongan hanya narsis.
- Rombongan hanya nongkrong saja.

Kehadiran Rojali dan Rohana memunculkan tantangan baru bagi pelaku usaha dan pengelola pusat perbelanjaan. Meski menciptakan keramaian, keberadaan mereka tidak selalu berdampak pada omzet. Sebaliknya, banyak tenant mengeluhkan jumlah pengunjung tinggi, tapi nilai transaksi rendah.

“Ini cukup memengaruhi omzet. Banyak yang datang tapi tidak beli. Mereka hanya foto-foto, duduk-duduk, dan keluar tanpa transaksi,” ungkap salah satu pegawai toko pakaian di sebuah mal Jakarta.

Untuk mengatasi fenomena ini, sejumlah strategi tengah dipertimbangkan oleh pengelola mal, seperti:

- Menyediakan area interaktif berbayar, seperti photo booth atau mini games.
- Memberikan diskon khusus untuk pengunjung yang bertransaksi minimal tertentu.
- Mengajak kreator konten untuk bekerja sama dalam meningkatkan daya tarik tenant.
- Menganalisis data digital untuk mengidentifikasi perilaku pengunjung dan rasio pembeli.

Cerminan Kondisi Sosial dan Ekonomi

Fenomena Rojali dan Rohana tak lepas dari kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Harga kebutuhan pokok yang terus naik dan tekanan pengeluaran rumah tangga membuat banyak orang menahan diri untuk belanja. Mal kemudian jadi tempat rekreasi murah meriah yang nyaman dan bebas biaya masuk.

Tak hanya itu, tren media sosial turut mendorong orang datang ke mal hanya untuk mengambil gambar di tempat estetik, lalu mengunggahnya di platform seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter).

“Daripada jalan-jalan mahal, mending ke mal aja. Adem, bisa duduk, foto-foto, ada Wi-Fi, udah seneng,” ujar Diah (23), seorang pengunjung mal di Bekasi yang mengaku masuk kategori Rojali.

Istilah Rojali dan Rohana bukan sekadar lelucon viral, melainkan gambaran nyata tentang dinamika sosial dan ekonomi masyarakat urban saat ini. Di balik kehadiran mereka yang meramaikan mal, terdapat pesan penting bagi pelaku usaha untuk lebih kreatif dan adaptif dalam menghadapi perubahan perilaku konsumen. Fenomena ini menjadi alarm sosial bahwa strategi ritel di era digital perlu menyesuaikan dengan gaya hidup baru masyarakat. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI