MDP Jelaskan Perannya sebagai Penegak Disiplin Tenaga Medis-Kesehatan

Sabtu, 26 Juli 2025 | 14:46 WIB
MDP Jelaskan Perannya sebagai Penegak Disiplin Tenaga Medis-Kesehatan
Ilustrasi Nakes. (pixabay/darkostojanovic)

Suara.com - Majelis Disiplin Profesi (MDP) menjelaskan soal peran dan fungsinya yang dipertanyakan saat diminta dihapus rekomendasi pengenaan sanksi pidana atau perdata untuk tenaga kesehatan atau tenaga medis dihapus.

Sebagaimana adanya Perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 156/PUU-XXII/2024 terkait pengujian materi Pasal 308 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7) dan (8) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

Namun dalam sidang lanjutan perkara itu, Wakil Ketua MDP Ahmad Redi menjelaskan, bahwa MDP adalah lembaga penegak disiplin prosesi memiliki original intent untuk memastikan agar tenaga medis (named) dan tenaga kesehatan (nakes) menjalankan seluruh kewajiban hukumnya sesuai ketentuan Pasal 274 UU Kesehatan.

Dengan menegakan disiplin, kata dia, rekomendasi MDP tidak dalam rangka untuk menilai ada atau tidaknya peristiwa pelanggaran hukum yang dilakukan named/nakes.

"MDP merasa penting dan Pasal 308 ini menurut kami sudah sesuai dengan kehendak konstitusi pasal-pasal Undang-Undang Dasar dalam konteks kelembagaan ini sangat membantu dalam rangka perlindungan kepentingan publik sekaligus perlindungan terhadap nakes dan named yang sudah melakukan praktik sesuai standar,” kata Ahmad Redi di hadapan para hakim konstitusi, dikutip Suara.com dari laman MK, Sabtu (26/7/2025).

Menurutnya, MDP berperan berdasar dua ketentuan pertama, Pasal 308 ayat (1) UU Kesehatan berbunyi, “Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang dapat dikenai sanksi pidana, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304."

Ke dua, Pasal 308 ayat (2) UU Kesehatan berbunyi, “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dimintai pertanggungiawaban atas tindakan/perbuatan berkaitan dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang merugikan Pasien secara perdata, harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.”

Ahmad dalam sidang itu juga menyampaikan, sejak dibentuknya kelembagaan MDP hingga 21 Mei 2025, pihaknya telah menerima permohonan rekomendasi dari berbagai instansi yang ada di seluruh daerah.

MDP telah melayangkan rekomendasi pada perkara pidana yang dapat dilakukan penyidikan sebanyak 27 named/nakes, tidak dapat dilakukan penyidikan terhadap 11 named/nakes, dan masih dalam proses pemeriksaan terhadap tiga permohonan.

Baca Juga: Ketika Tenaga Medis Indonesia Dibantu AI

MDP juga telah mengeluarkan rekomendasi pada perkara perdata sesuai standar terhadap lima named/nakes dan tidak sesuai standar tidak ada/nihil.

Hingga kekinian, MDP masih memenuhi untuk memeriksa dan memberikan jawaban terhadap semua permohonan rekomendasi yang dimohonkan kepada MDP.

Terbatasnya susunan organisasi MDP yang hanya berada di tingkat pusat dengan beranggotakan sembilan orang tidak menghalangi kualitas dan kuantitas kinerja MDP atau menjadi terbengkalainya permohonan rekomendasi yang dimintakan oleh berbagai instansi di seluruh wilayah Indonesia.

Di sisi lain, dalam sidang itu juga Pemohon menghadirkan Ahli, yaitu drg Vera Dumonda Silitonga yang memiliki keahlian dalam bidang Manajemen, Sumber Daya Manusia, Hukum Perdata Kesehatan, dan Manajemen Administrasi Rumah Sakit dalam persidangan.

Vera menegaskan, tenaga medis atau kesehatan memiliki hak untuk dilindungi dari kriminalisasi yang tidak berdasar. Namun, perlindungan tersebut harus diberikan melalui proses hukum yang objektif dan transparan, bukan melalui mekanisme tertutup dan administratif.

“Pasal 308 justru membebankan tanggung jawab perlindungan ini pada satu pintu administratif yang kurang akuntabel dan tidak memiliki mekanisme check and balance seperti di peradilan,” kata Vera.

Ia mengatakan, dibandingkan Inggris, Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat, hanya Indonesia yang mewajibkan rekomendasi Majelis Disiplin.

Ilustrasi Nakes - Daftar Gaji PPPK Tenaga Kesehatan 2022 (Pixabay)
Ilustrasi Nakes. (Pixabay)

Peran lembaga etik di negara-negara tersebut masing-masing hanya bersifat konsultatif, ahli teknis/pendapat disertakan, konsultatif, dan banyak kasus diselesaikan di ranah perdata.

Hanya di Indonesia lembaga etiknya yang memiliki wewenang formal menentukan apakah proses pidana bisa berjalan.

Untuk itu, Vera mengatakan, Pasal 308 UU Kesehatan menempatkan Majelis yang bukan lembaga yudikatif dalam posisi mengintervensi fungsi penegakan hukum.

Hal demikian tentu mengganggu independensi aparat penegak hukum, menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian dalam sistem hukum, serta berpotensi melahirkan kekuasaan yang tidak akuntabel.

Di sisi lain, dalam sidang Pemohon juga menghadirkan Venny Romatua Damanik dan Dedy Rinaldy Siregar sebagai Saksi.

Advokat Venny mempunyai klien bernama Rintho Franki Lumbangaol, seorang suami dari pasien bernama Vanny Fransisca yang diduga menjadi korban tindakan malapraktik dokter spesialis kandungan dan dokter spesialis anestesi di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Nuraida Bogor.

Pihaknya telah mengadukan kedua dokter tersebut ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI menjatuhkan sanksi pencabutan STR selama tiga bulan kepada dr Lukman dan saksi peringatan tertulis dr Yudhanarko.

Pihaknya juga telah membuat laporan atas tindakan malapraktik di Kepolisian Resor Bogor Kota dan dalam proses pemeriksaan laporan tersebut, Polresta Bogor Kota mengalami kendala karena Pasal 308 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UU Kesehatan.

Namun, Kepolisian menyatakan harus ada rekomendasi dari MDP untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan atas laporan dimaksud.

Dia melanjutkan, kliennya dirugikan atas berlakunya Pasal 308 UU Kesehatan. Menurut dia, tenaga medis atau tenaga kesehatan mana yang mau meminta rekomendasi kepada MDP supaya tenaga medis/kesehatan dimaksud digugat ke pengadilan.

“Kami juga mendapatkan informasi, banyak gugatan di pengadilan menjadi NO (Niet Ontvankelijke Verklaard/gugatan tidak dapat diterima), karena prematur, karena belum ada rekomendasi MDP yang dimohonkan tenaga medis yang akan digugat,” kata Vera.

Untuk diketahui, permohonan ini diajukan Perkumpulan Konsultan Hukum Medis dan Kesehatan (PKHMK) serta dua orang advokat.

Mereka meminta ketentuan permintaan rekomendasi pengenaan sanksi pidana atau perdata dari MDP tenaga kesehatan atau tenaga medis dihapus.

Menurut para Pemohon, tidak tepat apabila majelis etik serta merta diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi dan memeriksa terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan pidana atau perdata.

Jika MDP tidak serta merta dapat dipersamakan dengan lembaga penegak hukum dalam arti formal yang mempunyai kewenangan pro justitia sehingga harus menerapkan due process of law, termasuk menerapkan asas presumption of innocence.

Hal ini karena MDP merupakan lembaga penegak disiplin dalam profesi di bidang medis dan kesehatan, yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan dalam penerapan disiplin ilmu yang dimiliki masing-masing profesi tersebut.

Karena itu, proses yang dilakukan MDP lebih berfokus pada due process of ethics dan due process of discipline daripada due process of law.

Para Pemohon mengatakan adanya perlakuan yang berbeda terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam penegakan hukum tidak dapat dibenarkan dan jelas melanggar konstitusi sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan haruslah diberlakukan sama dihadapan hukum sebagaimana Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Bahwa keharusan dan persyaratan adanya persetujuan majelis bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan.

Upaya hukum pidana dan perdata disyaratkan terlebih dahulu. mendapatkan rekomendasi dari majelis yang dapat mengakibatkan proses peradilan menjadi berlarut larut yang menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 308 ayat (1) UU Kesehatan sepanjang frasa “terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi dari majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI