Suara.com - Sebuah 'ancaman' dari Washington tampaknya lebih ampuh daripada seruan damai PBB. Di tengah panasnya perang perbatasan yang telah menumpahkan darah, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet dan Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai secara mendadak setuju untuk bertemu di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin (28/7).
Apa pemicunya? Ternyata, di balik layar ada 'ultimatum' dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang tak mau bernegosiasi dagang dengan negara yang sedang berperang.
Menteri Luar Negeri Malaysia, Mohamad Hasan, mengonfirmasi bahwa negaranya, selaku ketua ASEAN, diminta langsung oleh kedua negara untuk menjadi mediator.
“Saya berkesempatan berbicara dengan menteri luar negeri Thailand dan Kamboja. Keduanya sepakat bahwa tidak ada negara lain yang seharusnya terlibat dalam masalah ini. Mereka sepenuhnya percaya terhadap Malaysia dan meminta saya menjadi mediator,” kata Menteri Luar Negeri Malaysia Mohamad Hasan kepada kantor berita Bernama, Minggu (27/7/2025).
Pihak Thailand pun membenarkan pertemuan darurat ini. “Seperti yang telah muncul di media bahwa akan ada pertemuan besok, hanya itu yang bisa saya konfirmasi, itu benar,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Nikondet Phalangkun.
Lantas, mengapa 'ancaman' dari Trump begitu manjur?
Phalangkun secara tidak langsung mengakui bahwa kedua negara sama-sama berkepentingan untuk melanjutkan negosiasi tarif dagang dengan Washington. Trump sebelumnya menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan melakukan negosiasi dengan negara-negara yang terlibat dalam konflik bersenjata.
Sikap tegas Trump ini memaksa kedua negara yang sedang bersitegang untuk segera duduk di meja perundingan, jika tidak ingin kehilangan potensi keuntungan ekonomi dari pasar Amerika.
Seperti diketahui, ketegangan perbatasan antara Thailand dan Kamboja telah meningkat menjadi konflik bersenjata sejak 24 Juli lalu. Pertempuran ini telah memakan banyak korban jiwa dan luka-luka dari kedua belah pihak, termasuk warga sipil.
Baca Juga: Thailand dan Kamboja Memanas, Kemlu Pastikan Tak Ada WNI Jadi Korban
Akar sengketa ini berasal dari peta perbatasan buatan Prancis pada tahun 1907 yang ditafsirkan secara berbeda oleh kedua negara. Thailand selama ini lebih memilih jalur negosiasi bilateral, sementara Kamboja lebih mengandalkan putusan Mahkamah Internasional, yang yurisdiksinya tidak diakui oleh Thailand.