Suara.com - Pantai Siung di Gunungkidul, Yogyakarta, dikenal sebagai surga bagi para pemanjat tebing dan pencari ketenangan.
Namun, sebuah insiden hilangnya seorang wisatawan asal Jakarta, Azka Nurfadillah (28), telah menyibak sisi lain dari pesona alamnya, memunculkan pertanyaan yang lebih dalam dari sekadar kronologi kecelakaan: Mengapa seseorang dengan sengaja mencari bahaya di tempat yang terlarang?
Kasus ini bukan sekadar laporan orang hilang biasa.
Ini adalah cerminan dari sebuah fenomena yang lebih kompleks, di mana keindahan alam yang ekstrem menjadi tujuan, bukan hanya untuk rekreasi, tetapi mungkin juga sebagai pelarian terakhir dari beban yang tak terlihat.
Kronologi Kepergian yang Penuh Kejanggalan
Kisah Azka dipenuhi dengan tanda-tanda yang mengisyaratkan sebuah niat yang kuat dan tak biasa. Mengurutkan kembali perjalanannya yang membingungkan hal ini tentu menjadi tanda tanya.
Kamis, 24 Juli 2025: Azka tiba seorang diri di Pantai Siung dan langsung menyewa tenda untuk berkemah.
Jumat, 25 Juli 2025: Ia secara proaktif mendatangi pos SAR, bukan untuk meminta bantuan, melainkan untuk menanyakan jalan menuju Watu Togok, sebuah lokasi tebing terjal yang dikenal berbahaya dan terlarang untuk umum.
Petugas SAR sudah memberikan larangan keras, namun Azka tak mengindahkannya.
Baca Juga: BRAAAKKK Bus Persib Bandung Kecelakaan di Thailand, Ini Kronologisnya
Jumat Siang: Seorang nelayan melaporkan keberadaan Azka di Watu Togok. Tim SAR berhasil membujukny untuk kembali ke area perkemahan.
Ini menunjukkan adanya intervensi pertama yang sayangnya tidak menghentikan niatnya.
Sabtu, 26 Juli 2025: Pukul 02.00 dini hari, Azka masih terlihat di depan tendanya. Namun saat pagi tiba dan waktu sewa tenda habis, ia telah lenyap.
Minggu, 27 Juli 2025: Kecurigaan memuncak saat motor Honda Vario 160 miliknya ditemukan terparkir selama empat hari.
Di motor tersebut, ditemukan tas berisi identitas lengkap, ponsel, dan barang pribadi lainnya, seolah sengaja ditinggalkan.
Misteri Watu Togok: Keindahan Terlarang yang Memikat
Watu Togok bukanlah spot wisata biasa.
Lokasinya yang tersembunyi di balik bukit sisi timur Pantai Siung menjadikannya area yang terisolasi.
Tebingnya yang curam dan langsung berhadapan dengan ombak ganas Samudra Hindia membuatnya mendapat status 'terlarang untuk dijamah'.
Bagi sebagian orang, tempat seperti ini memancarkan daya tarik yang fatal.
Keindahan yang ekstrem dan bahaya yang nyata bisa menjadi sebuah panggilan bagi jiwa yang sedang rapuh.
Keinginan Azka untuk mencapai Watu Togok, meski sudah dilarang keras, menimbulkan dugaan yang lebih suram.
Apakah ini sebuah pencarian adrenalin, atau sebuah cara untuk menemukan 'kedamaian' dengan cara yang paling final?
'Healing' atau Panggilan Putus Asa? Membedah Sisi Psikologis
Di kalangan generasi milenial dan anak muda, 'healing' ke alam telah menjadi tren untuk melepas penat. Namun, kasus Azka memaksa kita untuk bertanya: kapan 'healing' menjadi topeng dari sebuah keputusasaan?
Tindakan meninggalkan semua identitas dan barang berharga, serta kegigihan untuk mendatangi lokasi berbahaya, adalah pola yang seringkali diasosiasikan dengan niat untuk mengakhiri hidup.
Seseorang yang berada dalam tekanan mental hebat mungkin tidak lagi melihat bahaya sebagai sesuatu yang harus dihindari, melainkan sebagai jalan keluar.
Wilayah Gunungkidul sendiri pernah mencatat kejadian serupa, di mana individu memilih tebing pantai sebagai lokasi untuk tindakan bunuh diri.
Fenomena ini menggarisbawahi bahwa tempat-tempat indah yang sunyi bisa menjadi pilihan bagi mereka yang merasa sudah tidak memiliki harapan.
Keinginan Azka untuk menyatu dengan alam di titik paling berbahaya bisa jadi merupakan manifestasi dari keinginan untuk menghilang dari tekanan hidup yang dirasanya terlalu berat.
Pelajaran dari Siung: Waspada dan Peduli
Saat ini, Tim SAR Gabungan masih terus melakukan pencarian dengan harapan Azka dapat ditemukan dalam kondisi selamat.
Kegigihan tim SAR yang sejak awal sudah memberikan peringatan patut diapresiasi.
Namun, insiden ini adalah pengingat keras bagi kita semua.
Pertama, selalu patuhi arahan dan larangan dari petugas di lokasi wisata.
Bahaya itu nyata. Kedua, dan yang lebih penting, tingkatkan kepedulian kita terhadap kesehatan mental orang-orang di sekitar kita. Depresi seringkali tak terlihat dan tak terucapkan.