Suara.com - Ruangan itu seharusnya penuh dengan tawa dan lantunan lagu pujian. Namun ruangan di Kelurahan Padang Sarai, Kota Padang itu justru dipenuhi jerit tangis dan ketakutan.
Mimpi buruk menjadi nyata bagi puluhan anak-anak saat tempat mereka belajar agama diserbu massa beringas, mengubah pelajaran tentang kasih menjadi pelajaran tentang kebencian dan kekerasan.
Belakangan diketahui, jika dua anak baru berusia 9 dan 11 tahun, pada Minggu (27/7) petang tersebut menjadi korban luka fisik dan batin.
Mereka adalah simbol paling menyakitkan dari tragedi ini.
Peristiwa ini pun kemudian viral di media sosial.
Di sejumlah video yang beredar terligar, sejumlah warga tiba-tiba dari luar terdengar teriakan marah.
Sejumlah batu menghantam jendela, memecahkan kaca.
Orang-orang dewasa yang tak dikenal merangsek masuk, membawa kayu dan tatapan penuh tampak penuh amarah.
Mereka membalikkan meja, menghancurkan kursi, dan memutus aliran listrik.
Baca Juga: Rumah Doa Digeruduk: Anak-anak Jadi Korban Pemukulan di Padang
Inilah horor yang dialami anak-anak jemaat GKSI Anugerah Padang. Pendeta F. Dachi, yang saat itu memimpin kegiatan, menceritakan detik-detik paling memilukan.
“Satu anak kakinya cedera dan tidak bisa jalan karena dipukul dengan kayu. Satu lagi bagian bahunya juga dipukul dengan kayu. Keduanya sudah dibawa ke rumah sakit,” katanya.
Luka fisik mungkin bisa sembuh, namun bagaimana dengan trauma?
Bagaimana menjelaskan kepada anak-anak ini bahwa tempat yang seharusnya menjadi surga aman untuk belajar justru menjadi lokasi teror?
Insiden ini bukan hanya serangan terhadap sebuah bangunan, melainkan serangan brutal terhadap kepolosan dan masa depan anak-anak.
Bagi komunitas kecil GKSI Anugerah Padang, rumah doa ini adalah jawaban atas kebutuhan mereka.
Dengan jemaat yang tersebar dan kesulitan mengakses gereja utama di pusat kota, tempat ini menjadi tempat bagi pendidikan rohani anak-anak mereka. Niat baik itu kini dibalas dengan intimidasi.
Pendeta Dachi menyebut bahwa kegiatan belajar-mengajar ini sudah berlangsung cukup lama.
Keputusan untuk memusatkannya di satu lokasi adalah murni untuk memudahkan.
Namun, niat sederhana itu kini berbuah petaka. Komunitas yang hanya ingin beribadah dan mendidik anak-anaknya dengan tenang, kini hidup dalam ketakutan.
Peristiwa ini adalah pengingat yang menyakitkan bahwa korban paling rentan dari konflik orang dewasa adalah anak-anak.
Wakapolda Sumbar, Brigjen Pol Solihin, mengatakan sembilan orang terduga pelaku telah diamankan, dan jumlahnya kemungkinan bertambah.
Wali Kota Padang, Fadli Amran, menyebut insiden ini dipicu miskomunikasi antara warga dan pengelola rumah doa.
Ia meminta maaf atas kejadian tersebut dan menegaskan pentingnya menjaga kerukunan umat beragama, serta menyerahkan proses hukum sepenuhnya kepada kepolisian.
Perlindungan terhadap mereka seharusnya menjadi prioritas utama, melampaui segala perbedaan.
Bagikan artikel ini sebagai bentuk solidaritas Anda kepada para korban.
Apa langkah yang harus diambil pemerintah untuk memastikan pemulihan trauma anak-anak ini?
Suarakan pendapatmu di kolom komentar!