Suara.com - Fenomena sound horeg yang identik dengan parade audio raksasa ternyata bukanlah 'wabah' yang merata di seluruh penjuru Jawa Timur. Meskipun menjadi perbincangan hangat, budaya ini lebih terkonsentrasi di sejumlah daerah yang telah menjadi 'kandang' atau basis utamanya, sementara banyak kabupaten lain justru adem ayem.
Peta sebaran 'ibukota' sound horeg ini diungkap langsung oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, di tengah upaya pemerintah provinsi untuk menelurkan regulasi khusus.
Menurutnya, fenomena ini tumbuh subur di beberapa wilayah spesifik yang dikenal memiliki komunitas dan pengusaha sound system yang kuat.
Khofifah menyebut sound horeg banyak ditemukan di Tulungagung, Banyuwangi, Pasuruan, Jember, Malang, dan daerah lain, demikian dalam sebuah keterangan resmi yang dilansir Antara, Sabtu (26/7/2025).
Daerah-daerah tersebut, terutama Malang, Jember, dan Banyuwangi, sering dianggap sebagai 'segitiga emas' sound horeg di mana parade dan karnaval dengan sound system megah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan lokal, terutama saat Agustusan atau acara desa lainnya.
Maraknya fenomena di wilayah-wilayah ini mendorong pemerintah dan legislator untuk segera bertindak.
Anggota Komisi II DPR RI dari Dapil Jawa Timur IV, Muhammad Khozin, menegaskan bahwa solusinya bukan pelarangan total, melainkan pengaturan yang bijak.
"Penggunaan sound horeg perlu pengaturan, bukan pelarangan. Banyak aspek yang harus menjadi pertimbangan," kata Khozin.
Ia mengakui bahwa di satu sisi, sound horeg telah menjadi motor penggerak ekonomi kreatif dan UMKM di daerah-daerah tersebut. Namun di sisi lain, dampaknya seringkali menimbulkan keresahan.
Baca Juga: Akhirnya! Sound Horeg Boleh Nampil di Agustusan: Cuma Pakai L300, Joget Vulgar Auto Bubar
"Namun sound horeg juga menimbulkan persoalan di tengah masyarakat. Pada poin inilah relevansi pengaturannya," tegas Khozin.
Saat ini, Pemprov Jatim tengah menggodok aturan main yang komprehensif.
"Kami mendengarkan paparan tentang sound horeg dari berbagai sudut pandang, menghadirkan MUI Jatim, Polda Jatim, dan perangkat daerah lainnya," kata Gubernur Khofifah.
Regulasi yang sedang disiapkan, baik dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) maupun Surat Edaran, akan mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari batasan desibel demi kesehatan telinga, radius lokasi acara dari pemukiman, hingga prosedur perizinan yang jelas.
Fatwa MUI Jawa Timur Nomor 1 Tahun 2025 bahkan disebut akan menjadi salah satu rujukan utama.
"Fatwa MUI dapat menjadi pedoman dalam merumuskan pengaturan penggunaan sound horeg karena fatwa ditinjau dari pelbagai perspektif bahkan melibatkan kedokteran spesialis THT. Jadi, tidak perlu diperdebatkan fatwa MUI," tutup Khozin.