Di sinilah letak persoalan utamanya. Visi besar setinggi 180 cm menjadi ironis ketika kita melihat pelaksanaan program yang masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
Alih-alih berfokus pada hasil akhir yang fantastis, evaluasi mendalam terhadap proses penyelenggaraan MBG justru lebih mendesak.
Beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian serius antara lain:
Standar Menu yang Belum Merata: Apa definisi "makan bergizi" di lapangan? Apakah menu yang disajikan di Sabang memiliki standar gizi, kebersihan, dan variasi yang sama dengan di Merauke?
Tanpa standar operasional prosedur (SOP) yang ketat dan terawasi, label 'bergizi' bisa menjadi sekadar formalitas.
Pengawasan Keamanan Pangan yang Lemah: Kasus dugaan keracunan massal yang menimpa puluhan siswa sekolah dasar di Kulon Progo, DIY, setelah menyantap makanan program serupa beberapa waktu lalu adalah alarm bahaya.
Bagaimana mungkin program yang bertujuan menyehatkan justru berbalik mengancam keselamatan anak?
Ini menunjukkan pengawasan terhadap proses memasak, kebersihan bahan baku, dan distribusi masih sangat lemah.
Logistik dan Keterlibatan Lokal: Program berskala nasional ini sangat bergantung pada rantai pasok yang efisien.
Baca Juga: Merangkul Perempuan dan Merawat Generasi Muda, Kiprah CIMB Niaga untuk Misi Keberlanjutan
Keterlambatan distribusi bahan baku atau penggunaan bahan yang tidak segar dapat menurunkan kualitas gizi secara drastis.
Pelibatan UMKM dan petani lokal memang baik, namun apakah mereka sudah dibekali pengetahuan yang cukup tentang standar higienitas dan gizi?
Fokus pada Fondasi, Bukan Sekadar Visi
Klaim tinggi badan 180 cm dari program MBG adalah sebuah narasi yang kuat, namun bisa menjadi bumerang jika fondasi pelaksanaannya rapuh.
Alih-alih terbuai dengan janji hasil akhir, pemerintah seharusnya memprioritaskan perbaikan fundamental: memastikan setiap makanan yang sampai ke piring anak-anak aman, bersih, dan benar-benar bergizi sesuai standar.
Mengentaskan stunting adalah maraton, bukan sprint.