4 Fakta Pria Ngamuk Teriak Bom di Lion Air: Senyum Janggal & Riwayat Perawatan Medis

Tasmalinda Suara.Com
Senin, 04 Agustus 2025 | 21:45 WIB
4 Fakta Pria Ngamuk Teriak Bom di Lion Air: Senyum Janggal & Riwayat Perawatan Medis
Kapolresta Bandara Soekarno Hatta Kombes Pol Ronald C Sipayung (kanan) bersama Kasubdit Penegakan Hukum Penerbangan Direktorat Keamanan Penerbangan Kemenhub Dodi Dharma Cahyadi (kedua kanan) mengintrogasi pelaku sebelum memberikan keterangan pers terkait penetapan tersangka seorang penumpang pesawat Lion Air berinisial H (50) di Mapolresta Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (4/8/2025). [ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/nz]

Suara.com - Sebuah tingkah ngamuk yang janggal menjadi drama kepanikan di Bandara Soekarno-Hatta. HR (42), pria yang bertingkah emosi dan meneriakkan ada bom di dalam pesawat Lion Air JT308 rute Jakarta-Kualanamu, kini resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Namun, di balik ancaman pidana satu tahun penjara, terungkap sebuah fakta yang cukup mengejutkan yang membuat kasus ini jauh lebih kompleks:

Tersangka HR ternyata memiliki riwayat perawatan di rumah sakit jiwa.

Insiden yang terjadi pada Sabtu (2/8/2025) ini bukan hanya menyebabkan penerbangan batal dan penundaan berjam-jam, tetapi juga membuka perdebatan tentang keamanan penerbangan dan persimpangan antara tindak kriminal dengan isu kesehatan mental.

1. Kronologi Kekacauan: Satu Kata yang Batalkan Penerbangan

Semua berjalan normal di dalam kabin Lion Air JT308 hingga HR tiba-tiba mengamuk.

Tanpa alasan yang jelas, ia berteriak bahwa ada bom di dalam pesawat. Sontak, suasana tenang berubah menjadi kepanikan.

Awak kabin yang sigap segera mengamankan pelaku dan melaporkan insiden tersebut sesuai prosedur darurat.

Akibatnya fatal yakni penerbangan dibatalkan yang otoritas memutuskan untuk membatalkan penerbangan demi keselamatan.

Baca Juga: Emosi Tidak Stabil, Polisi Bongkar Latar Belakang Kejiwaan Pelaku Teriak Bom di Pesawat Lion Air

Selain itu, seluruh penumpang juga dievakuasi, di mana ratusan penumpang terpaksa turun dari pesawat.

Penerbangan juga mengalami penundaan berjam-jam.

Pesawat harus melalui proses sterilisasi oleh tim penjinak bom, menyebabkan penundaan keberangkatan yang signifikan.

HR langsung diamankan oleh petugas keamanan bandara. Namun, yang paling menarik perhatian dan menjadi viral adalah ekspresinya saat digiring petugas: ia terlihat tersenyum lebar seolah tanpa beban.

2. Resmi Jadi Tersangka, Terancam Satu Tahun Penjara

Setelah melalui pemeriksaan intensif, polisi akhirnya menaikkan status HR dari saksi menjadi tersangka.

Keputusan ini diambil setelah penyidik menemukan adanya unsur tindak pidana yang jelas.

“Maka per hari ini, terhadap yang bersangkutan sudah kita tetapkan sebagai tersangka,” kata Kapolresta Bandara Soekarno-Hatta, Kombes Ronald Sipayung, dalam keterangannya, Senin (4/8/2025).

HR dijerat dengan Pasal 437 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal ini mengatur tentang penyampaian informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 1 tahun.

3. Twist Mengejutkan: Riwayat Perawatan di Rumah Sakit Jiwa

Di tengah proses hukum yang berjalan, polisi menemukan fakta baru yang bisa mengubah arah kasus ini. Berdasarkan keterangan pihak keluarga, HR bukanlah sosok yang sepenuhnya sehat secara mental.

“Berdasarkan informasi dari keluarga, pelaku sempat dirawat selama satu bulan di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, Jakarta,” ungkap Kombes Ronald.

Temuan ini membuka kemungkinan bahwa tindakan nekat HR bukanlah didasari oleh niat jahat atau terorisme, melainkan dipicu oleh kondisi kejiwaannya.

Pihak kepolisian kini harus bekerja ekstra hati-hati, menyeimbangkan antara penegakan hukum dan aspek kemanusiaan.

4. Dilema Hukum: Pidana atau Perawatan?

Penetapan tersangka terhadap HR kini memunculkan dilema hukum yang pelik.

Di satu sisi, perbuatannya telah menyebabkan kerugian materiel yang besar bagi maskapai dan trauma bagi penumpang. Penegakan hukum diperlukan untuk memberikan efek jera agar insiden serupa tidak terulang.

Di sisi lain, jika terbukti HR melakukan tindakan tersebut karena gangguan jiwa yang tidak terkontrol, memenjarakannya mungkin bukanlah solusi yang tepat.

Hukum mengenal adanya alasan pemaaf bagi pelaku tindak pidana yang tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya karena kondisi kejiwaan.

Penyidik kini terus mendalami motif pelaku dan akan berkoordinasi dengan ahli kejiwaan untuk menentukan apakah HR dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Kasus ini menjadi pengingat pentingnya kesadaran akan kesehatan mental dan bagaimana sistem hukum kita meresponsnya.

Menurut Anda, apakah seseorang dengan riwayat gangguan kejiwaan tetap harus dipidana atas perbuatannya? Atau perawatan adalah jalan yang lebih baik?

Bagikan pendapat Anda di kolom komentar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI