Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merayakan HUT ke-31 di Auditorium RRI, Jakarta, Jumat (8/8/2025).
AJI menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan kebebasan pers di tengah masih maraknya kasus kekerasan dan penghalangan kerja jurnalistik.
Sejarawan dan pejuang hak asasi manusia Ita Fatia Nadia menyampaikan orasi kebudayaan.
Ia mengingatkan bahwa tanpa ingatan dan keberanian, kebebasan hanya akan menjadi slogan kosong.
"Sejarah juga harus memperhatikan sejarah perempuan,"kata Ita.
Malam puncak perayaan HUT ke-31 AJI mengusung tema 'Menjaga Independensi di Era Represi, Ancaman PHK, dan Swasensor.'
Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida menegaskan bahwa pers harus kembali ke fungsi utamanya menjadi kontrol sosial dan memberikan edukasi yang independen sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Ia mengingatkan bahwa kekuatan jurnalis ada pada suara mereka, 'dan selama suara itu masih ada, AJI tidak akan berdiam diri.'
Nany menyebut tanda-tanda tekanan terhadap pers sudah terlihat sejak tiga tahun terakhir, menguat pada masa pergantian pemerintahan, dan kini memicu gelombang solidaritas sekaligus perlawanan.
Baca Juga: Teror terhadap Kolumnis Detik, AJI Sorot Kian Suramnya Kebebasan Pers
Dalam acara tersebut, sejarawan sekaligus aktivis hak asasi manusia, Ita Fatia Nadia, membawakan orasi kebudayaan yang mengajak para jurnalis untuk mengingat bahwa tanpa memori kolektif dan keberanian, kebebasan hanya menjadi slogan tanpa makna.
Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menyoroti gelombang PHK di media sebagai indikasi bahwa ekosistem informasi publik sedang berada dalam kondisi kritis.
Ia menyerukan agar pemerintah berpihak pada keberlangsungan pers profesional, karena sebagai pilar keempat demokrasi, media memerlukan dukungan nyata untuk tetap hidup dan menjalankan fungsinya.
Dalam kesempatan itu, Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat mengungkapkan kekhawatiran jika pendidikan jurnalistik tidak dilaksanakan secara serius.
Menurutnya, pendidikan itu harus mencakup teori, keterampilan, etika, dan pemahaman teknologi media modern.
Ia mengapresiasi AJI yang tetap menjaga idealisme dan semangat belajar, karena wartawan sejatinya bukan sekadar pembuat berita, tetapi juga pemikir yang berperan membentuk opini publik.