Suara.com - Ketegangan yang membayangi hubungan antara Kepolisian RI (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) belakangan ini bukanlah isapan jempol.
Mantan Wakil Kapolri, Komjen Pol (Purn) Oegroseno, memberikan analisis tajam dan blak-blakan mengenai akar masalah perang dingin antar kedua institusi penegak hukum tersebut.
Menurut Oegroseno, friksi ini merupakan fenomena elitis yang hanya terjadi di level pucuk pimpinan di Jakarta, tidak merembet ke daerah. Ia mengidentifikasi tiga biang keladi utama: arogansi, jurang senioritas, dan kurangnya ketegasan dalam penyelesaian.
"Kalau antara Polri dengan kejaksaan ini hanya terjadi di tingkat pusat aja. Di daerah saya tidak pernah dengar itu," tegas Oegroseno dikutip dari Youtube Forum Keadilan TV.
Akar Masalah: Arogansi Sektoral dan Ego Individu
Bagi Oegroseno, sumber utama dari perseteruan ini sangat mendasar, yakni soal ego. Ia melihat adanya persaingan tidak sehat yang didasari oleh kebanggaan berlebih terhadap institusi, fungsi, hingga individu para pejabatnya.
"Kalau saya baca ya, kira-kira antara arogansi sektoral, arogansi fungsional itu terus arogansi individu aja," ungkapnya.
Sikap superioritas ini, menurutnya, menjadi penghalang utama terjalinnya komunikasi dan koordinasi yang sehat. Padahal, kedua lembaga memiliki kedudukan yang setara sebagai pilar penegakan hukum di Indonesia.
Lebih dalam, Oegroseno menyoroti faktor personal yang kerap diabaikan, yaitu kedewasaan dan hubungan personal antarpimpinan. Ia membandingkan situasi saat ini dengan pengalamannya saat masih aktif menjabat.
Baca Juga: Silfester Matutina Masih Bebas Berkeliaran, Mahfud MD: Jaksa Harus Bertanggung Jawab!
"Saya melihat pengalaman saya, Mas, ya. Aspek kedewasaan para pemimpin ini. Jadi saat saya wakapolri saja, wakil jaksa Agung itu teman satu angkatan SMP di Kudus," kenangnya.
Kedekatan personal ini, menurutnya, mencairkan sekat-sekat birokrasi. "Lalu, jadi saya juga main ke sana di samping sebagai mitra sama penegak hukum juga sebagai kawan karena seumur seusia," ungkapnya.
Ia melihat situasi yang berbeda saat ini, di mana terdapat perbedaan usia yang cukup jauh antara Kapolri dan Jaksa Agung. Faktor ini, menurutnya, bisa menciptakan rasa canggung atau segan yang menghambat komunikasi langsung.
"Tapi kalau perbedaan usia ini jauh mungkin ya itu tadi, mungkin mau menghadap sungkan atau mungkin merasa posisi lebih tinggi menghadap yang tidak bersenjata misalnya gitu kan sebenarnya itu harus dihilangkan ini sama-sama aparat penegak hukum seperti itu," paparnya.
"Ya kalau kejadian sekarang kan banyak di tingkat pusat sekarang misalnya gini usia kapolri dengan usia jaksa agung nih kan beda usia jauh nih. Jaksa Agung lebih senior," kata dia.
Solusi Tegas: Pimpinan Harus Turun Tangan, Bukan Bawahan
Menanggapi insiden aparat kepolisian berputar-putar di sekitar gedung Kejagung, Oegroseno menawarkan solusi yang lugas. Masalah ini, menurutnya, tidak bisa didelegasikan ke level bawah. Pucuk pimpinan kedua institusi harus duduk bersama.
"Sekarang fakta waktu kejadian penanganan ada mobil kepolisian berputar di depan Kejaksaan Agung. Yang menyelesaikan harusnya jaksa Agung sama Kapolri saja sudah ditarik ke atas saja. Jangan dibiarkan," serunya.
Ia mengkritik jika penyelesaian hanya diserahkan pada level deputi. "Oh, selesaikan antara mungkin saat ini jamintel dengan Kabid Propam, enggak perlu lagi. Kapori dengan jaksa Agung bicara yang lain hadir dan ini tidak boleh terjadi lagi," ujarnya.
Untuk memastikan insiden tak terulang, Oegroseno menekankan perlunya ancaman sanksi yang jelas dan tegas.
"Kalau terjadi lagi ya mohon maaf ini akan diberhentikan dengan tidak hormat atau dengan hormat melalui sidang dewan kode etik misalnya seperti itu. Harus ada ancaman seperti itu. Kalau enggak ada ancaman atau tekanan seperti itu ya mungkin masih terjadi terjadi lagi terjadi seperti itu," jelas dia.
Oegroseno menegaskan bahwa kejadian ini bukanlah yang pertama kali. Pola yang berulang ini memunculkan pertanyaan serius mengenai rantai komando dan kendali di tubuh Polri.
"kejadian bukan hanya sekali ini sudah kedua kali atau ketiga kali di sini hal seperti ini gitu loh," katanya. Ia mempertanyakan siapa yang memberikan perintah kepada anggota di lapangan.
"Siapa yang memerintahkan anggota ke sana? Kan harus bisa dibuktikan. Anggota kan hanya menurut perintah. Masa enggak ada yang merintah? Kalau anggota liar, waduh saya bilang ini kendali perlu dihadirkan kaporli model Pak Jenderal Polisi Anton Sujarwo lagi supaya gripnya lebih kuat lagi."
Di akhir analisisnya, Oegroseno juga melemparkan pertanyaan kritis kepada kepala negara, yang dinilainya cenderung diam menghadapi gesekan antar aparat yang berulang kali terjadi.
"Ya saya melihat faktanya kejadiannya berulang-ulang atau lebih dari satu kali seperti itu. Masa enggak bisa diselesaikan dan Presiden juga diam saja misalnya sejak zaman Pak Jokowi kan," ujar Oegroseno.