Suara.com - Eks narapidana terorisme (napiter) Ustadz Suryadi Mas’ud mengingatkan Indonesia masih menghadapi ancaman intoleransi hingga terorisme.
Yang beradaptasi dalam bentuk-bentuk baru di usia kemerdekaan RI yang memasuki delapan dekade.
Padahal, kata dia, perayaan HUT Ke-80 RI seharusnya menjadi momentum untuk mengingat pengorbanan para pahlawan yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
"Delapan dekade merdeka, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam menjaga persatuan dan keamanan bangsa. Ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme, meski tak selalu tampak di permukaan, tetap mengintai dan beradaptasi dalam bentuk baru," kata Suryadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa 12 Agustus 2025.
Dia mengingatkan beberapa daerah di Indonesia masih menjadi tempat tumbuhnya kelompok radikal yang mengancam stabilitas nasional.
“Dari pengalaman saya, sampai sekarang kita belum benar-benar bebas dari tiga hal itu. Dulu di Makassar ada gerakan DI/TII, RPII, gerakan Andi Azis, dan lainnya. Bibit-bibit itu masih ada, hanya saja kini mereka bertransformasi, misalnya masuk dalam jaringan seperti ISIS,” ucapnya.
Dia menegaskan kedaulatan sejati baru tercapai jika Indonesia mampu lepas sepenuhnya dari ancaman ideologi yang memecah belah.
Dia pun menyayangkan masih adanya narasi kelompok radikal yang seolah mendapat pembenaran dari sebagian pihak sehingga membelokkan persepsi masyarakat.
Menurut dia, banyak orang terjerumus ke paham radikal karena minim pengetahuan sejarah bangsa dan hanya mendengar narasi sepihak.
Baca Juga: Widih! Ternyata Mees Hilgers Laku Keras Dilirik Klub Spanyol dan Italia
“Saya dulu hanya menerima narasi keagamaan dan sejarah dari satu sisi, tanpa pembanding. Saat SMA, saya mulai melihat Indonesia sebagai negara yang batil. Saya tidak memikirkan perjuangan para pahlawan,” tuturnya.
Dia juga menyoroti masifnya penyebaran propaganda radikal di dunia maya dengan kemasan menarik dan kreatif yang menargetkan generasi muda, khususnya gen z.
Di sisi lain, lanjut dia, narasi tandingan tentang nasionalisme dan kebhinekaan masih disajikan secara monoton.
“Anak-anak tidak bisa menerima narasi kebangsaan yang membosankan. Gaya penyampaiannya harus sesuai zaman. Kisah para pahlawan harus diangkat agar generasi muda mengerti pentingnya menjaga keutuhan bangsa,” ujarnya.
Suryadi pun mengaku pengalamannya menjadi bukti kegagalan memahami kompromi para pendiri bangsa terkait kemajemukan Indonesia.
Untuk itu, dia mendorong semua pihak yang berkomitmen memberantas intoleransi dan radikalisme untuk bersatu, mengingat para pelaku teror memiliki solidaritas yang kuat.