Suara.com - Di panggung politik Indonesia yang penuh drama, sebuah cerita ironi kembali tersaji di depan mata publik.
Nama Silfester Matutina, seorang loyalis politik yang kini duduk nyaman di kursi Komisaris BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia (ID Food), menjadi episentrum perdebatan sengit.
Di satu sisi, ia adalah pejabat negara. Di sisi lain, ia adalah seorang terpidana dengan vonis 1,5 tahun penjara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) atas kasus pencemaran nama baik terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Pertanyaannya sederhana namun menusuk: Mengapa vonis yang sudah final dari Kejagung belum juga dieksekusi?
Kasus ini bukan lagi sekadar persoalan hukum individu, melainkan telah menjadi barometer untuk mengukur ketajaman taji hukum di hadapan kekuasaan dan koneksi politik.
Dari Relawan Politik ke Kursi Panas BUMN
Untuk memahami konteksnya, kita perlu menengok ke belakang.
Silfester Matutina adalah Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet), salah satu organ relawan yang gigih mendukung Joko Widodo dalam kontestasi pemilu.
Bukan rahasia lagi jika posisi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerap dianggap sebagai "hadiah" bagi para pendukung yang berjasa.
Baca Juga: Iwan Kurniawan Lukminto Bos Sritex yang Duduk Bareng Buruhnya Dianggap Rugikan Negara Rp 1,08 T
Pengangkatan Silfester sebagai komisaris, di saat status hukumnya masih menyisakan tunggakan eksekusi, memicu persepsi liar di masyarakat.
Ini seolah menjadi afirmasi dari adagium sinis yang begitu populer di kalangan anak muda: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Ketika rakyat kecil tersandung masalah hukum ringan bisa segera dijebloskan ke penjara, seorang terpidana kasus fitnah terhadap tokoh bangsa justru mendapat jabatan strategis.
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, bahkan sampai melontarkan dua pertanyaan kritis kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) mengenai mandeknya eksekusi ini, yang menunjukkan bahwa ada sesuatu yang ganjil dalam penanganannya.
PK Bukan Tameng untuk Menunda Eksekusi

Pihak Silfester Matutina kini tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Kejagung.