Dalam pernyataannya, ia mengaku siap jika dipanggil Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan untuk eksekusi.
Namun, yang perlu digarisbawahi dan dipahami oleh publik, terutama generasi milenial yang kritis, adalah prinsip hukum acara pidana.
Berdasarkan Pasal 268 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengajuan PK tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan yang sudah inkrah.
Artinya, dalih sedang mengajukan PK seharusnya tidak bisa menjadi alasan bagi Kejari untuk menunda-nunda eksekusi pidana penjara.
Kejagung sendiri telah menegaskan bahwa putusan kasasi Silfester sudah final dan eksekutorial.
Bola panas kini sepenuhnya berada di tangan Kejari Jakarta Selatan sebagai eksekutor.
Kelambanan yang terjadi hanya akan semakin menggerus kepercayaan publik dan memperkuat tudingan adanya intervensi atau setidaknya, perlakuan istimewa.
Ujian bagi Wajah Keadilan Indonesia
Kasus Silfester Matutina adalah sebuah test case yang krusial.
Baca Juga: Iwan Kurniawan Lukminto Bos Sritex yang Duduk Bareng Buruhnya Dianggap Rugikan Negara Rp 1,08 T
Ini adalah pertaruhan besar bagi wajah penegakan hukum di Indonesia.
Apakah negara, melalui aparaturnya, akan menunjukkan ketegasan tanpa pandang bulu? Ataukah kita akan sekali lagi disuguhi tontonan di mana status dan kedekatan dengan lingkaran kekuasaan bisa menjadi tameng kebal hukum?
Publik, khususnya anak muda yang semakin melek politik dan hukum, mengawasi dengan saksama.
Setiap langkah yang diambil oleh Kejari Jakarta Selatan akan menjadi jawaban atas integritas mereka.
Jika eksekusi terus ditunda dengan alasan yang tidak berdasar secara hukum, jangan salahkan publik jika mereka semakin apatis dan sinis terhadap jargon "persamaan di hadapan hukum".