Suara.com - Di tengah panggung politik yang riuh, label dan stigma menjadi senjata yang kerap dilontarkan. Tak terkecuali bagi Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Gaya kepemimpinannya yang gemar turun langsung ke masyarakat—atau yang populer disebut blusukan—tak pelak membuatnya disandingkan dengan Joko Widodo. Sebuah julukan pun tersemat: Mulyono Jilid 2. Stigma ini diperkuat oleh pemberitaan media yang secara spesifik mengulas fenomena ini.
"Habis Mulyono terbitlah Mulyadi kan itu judul salah satu media nasional kita yang menulis dan menginvestigasi terhadap fenomena yang terjadi pada dunia politik Indonesia, dunia birokrasi dan khususnya di era kepemimpinan saya menjadi Gubernur Jawa Barat," ujar Dedi dikutip dari Youtube Akbar Faizal Uncensored.
Alih-alih gusar atau defensif, Dedi Mulyadi justru menanggapinya dengan sikap yang luar biasa santai dan penuh humor. Ia mengaku tak tahu persis apa tujuan di balik narasi tersebut.
"Sehingga saya juga enggak tahu bahwa narasi itu dibuat membangun stigma apa, apa kecemasan, apa ketakutan atau keirian atau memang lagi suka sama saya, saya kan tidak tahu," ujarnya.
Koleksi Gelar dari 'Gubernur Konten' hingga 'Kang Duda Menyala'
Bagi pria yang akrab disapa KDM ini, berbagai julukan yang dilekatkan padanya bukanlah beban, melainkan koleksi gelar yang ia terima dengan lapang dada. Ia bahkan dengan santai merinci satu per satu label yang diberikan publik dan media kepadanya.
"Bagi saya sih dikasih gelar apapun saya enggak ada masalah. Gelar saya kan sekarang sudah lima. Satu Mulyono Jilid 2, Gubernur konten, Gubernur Lambe Turah terus kemudian Gubernur Pencitraan," ungkapnya.
Tak berhenti di situ, ia menambahkan "koleksi" gelarnya dengan julukan personal yang tak kalah unik, yang berkembang seiring perjalanan hidupnya.
Baca Juga: Kebijakan Dedi Mulyadi Tuai Polemik, Aturan Rombel Berakhir ke PTUN
"Kemudian ada lagi kalau saya KDM nih gelar saya juga kan. dulu Kang Duda merana kemudian setelah Kang Duda merana menjadi Kang Duda menyala. Saya bilang sebentar lagi tunggu, saya akan menjadi KDM yang ketiga, Kang Duda Merajalela," ujar dia.
Menanggapi tuduhan bahwa aktivitasnya saat ini adalah pencitraan semata, Dedi Mulyadi memiliki jawaban telak. Menurutnya, apa yang ia lakukan sekarang sebagai Gubernur Jawa Barat tidak ada bedanya dengan apa yang telah ia kerjakan selama memimpin Kabupaten Purwakarta. Perbedaannya hanya terletak pada sorotan dan amplifikasi media.
"Nah, apa sih sebenarnya yang terjadi sebenarnya bagi mereka yang tinggal di Purwakarta, bagi mereka yang pernah dipimpin oleh saya, apa yang saya lakukan hari ini tuh enggak ada beda dengan dulu. Cuman dulu saya memiliki keterbatasan ruang untuk mengekspresikan seluruh apa yang digiatkan ini," jelasnya.
Ia mengenang masa lalunya saat media arus utama belum melirik Purwakarta. Menurut dia, tidak ada televisi menyorotkan kameranya ke Purwakarta begitu juga layar-layar media digital.
"Kemudian kalaupun saya melakukan kan biayanya mahal dan tidak mungkin kantong Dedi Mulyadi yang di Purwakarta bisa melakukan itu. Dan tidak ada juga kelompok-kelompok pengusaha besar yang bisa mengendorse saya pada saat itu kan gitu loh," ucap dia.
Dokumentasi kegiatannya di masa lalu, yang ia simpan secara pribadi, baru mendapat perhatian publik luas ketika ia mulai aktif di media sosial setelah tidak lagi menjabat sebagai bupati. Melalui kanal YouTube-nya, "Kang Dedi Mulyadi Channel", publik mulai melihat konsistensi gayanya sejak dulu.
Lebih dari sekadar pembelaan, Dedi Mulyadi mengungkap filosofinya dalam bermedia sosial. Ia tidak ingin terjebak mengikuti arus atau sekadar menjadi pengekor. Ia memilih jalannya sendiri untuk menjadi penentu tren.
"Kenapa sih mempengaruhi pikiran publik? Karena saya dulu bermedia sosial itu tidak mau mengikuti arus. Saya tidak mau jadi follower. Saya ingin menjadi trend setter," tegasnya.
Baginya, reaksi negatif atau ketidaksukaan publik atas kontennya yang dianggap "kembali ke zaman batu" bukanlah masalah. Ia meyakini pentingnya edukasi melalui medium apa pun, meski harus berhadapan dengan cibiran.
"Orang mau benci, mau tidak suka terhadap apa yang saya tampilkan tidak ada masalah. Tetapi saya ingin di media sosial itu ada orang yang bekerja mengedukasi publik tentang berbagai hal," ujar KDM.
Persoalan dari edukasi yang disampaikannya itu ternyata menimbulkan reaksi negatif, ketidaksukaan dianggap kembali ke zaman batu tidak menjadi masalah bagi Dedi.
"Bagi saya enggak ada urusan. Walaupun disuruh kembali ke zaman batu, tetap batu diperlukan. Bangun rumah harus pakai batu, masak juga ada yang pasti pakai batu," ujarnya.