“Ini nggak sesuai aturan sih, gue di-PHK secara sepihak,” tegas ZA, Rabu (13/8/2025).
Pada Juni 2025, total 34 karyawan di perusahaannya dirumahkan dalam dua gelombang. Pemecatan, kata dia, dilakukan tanpa melihat performa. Pahitnya lagi, pesangon yang menjadi haknya dibayarkan secara dicicil sebanyak empat kali.
Hingga kini, ZA masih berjuang mencari pekerjaan. Tak lagi idealis, ia melamar posisi apapun dari fotografer, pemasaran, hingga public relation.
"Gue sudah nggak bisa hitung lagi berapa banyak lamaran yang gue applied," ucapnya sambil menyesap es kopi hitam.
Kisah paling menyayat hati datang dari Rahmat. Pada Sabtu (28/6/2025) sore, saat sedang mengetik berita, sebuah pesan masuk memintanya datang ke kantor keesokan harinya. Di ruang rapat, vonis itu dijatuhkan; namanya masuk daftar PHK karena efisiensi.
Beban ini terasa berkali-kali lipat lebih berat karena istrinya sedang mengandung anak pertama mereka yang memasuki usia 8 bulan.
“Pasti menyesalkan karena gue menjadi salah satu korban yang harus terdampak kala istri tengah mengandung. Mau nggak mau, gue hanya bisa berpangku tangan dengan pesangon dari perusahaan tanpa tahu kapan bisa kembali menafkahi keluarga gue yang layak dan patut,” keluh Rahmat.
Ia merasa janji pemerintah soal ketersediaan lapangan kerja hanyalah omong kosong.
"Kondisi ini menggambarkan pemerintah saat ini tidak sepenuhnya menjawab janji untuk ketersediaan lapangan kerja yang memadai," tuturnya.
Baca Juga: PNS Wajib Ikut Upacara 17 Agustus? Ini Aturannya
Ketiga kisah ini adalah puncak gunung es dari masalah ketenagakerjaan yang kronis. Di satu sisi, Kementerian Keuangan mengklaim ada penambahan 3,59 juta lapangan kerja baru. Namun di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan cerita yang berbeda.
Bagi Folly, kemerdekaan sejati adalah saat industri media sebagai pilar demokrasi bisa kuat secara finansial, bukan malah membuang talenta-talenta terbaiknya. Bagi ZA, kemerdekaan adalah kebebasan berekspresi lewat tulisan yang kini direnggut darinya.
Namun, makna paling menohok datang dari Rahmat, yang memandang perayaan kemerdekaan ke-80 ini dengan sinis.
“Buat gue, merdeka ke-80 ini cuma tagline, label, dan normatif. Toh selama ini tindakan korupsi masih dinormalisasi, apalagi oleh seorang pimpinan tertinggi,” katanya.
Pada akhirnya, di usianya yang ke-80, Indonesia mungkin telah merdeka, tetapi belum sepenuhnya mampu memberikan ruang bagi rakyatnya untuk mandiri secara finansial.
_________________________