Namun, di balik candanya, Azka menyimpan kekaguman mendalam pada sang proklamator, Soekarno. Jika diberi kesempatan bertemu, ia tak akan meminta apa-apa. Sebaliknya, ia ingin curhat tentang kegelisahan generasinya.
"Mau cerita ke Bung Karno, AI sekarang banyak banget, brain rot, banyak yang ngerusak otak,” ujarnya dengan lugas.
Untuk masa depannya, kemerdekaan memberinya kebebasan untuk memilih. Antara menjadi arsitek atau penyanyi, Azka masih menimbang. Namun jika menjadi arsitek, visinya sudah jelas.
“Aku mau bikin gedung atau sekolah kayak gini,” tuturnya, menunjuk bangunan sekolah tempatnya bermimpi.
Dari Ifa, Fauza, hingga Azka, cerita mereka mungkin sederhana. Tapi di dalamnya tersimpan esensi kemerdekaan yang sesungguhnya; sebuah kesempatan untuk berterima kasih pada masa lalu, berjuang untuk masa kini, dan bermimpi tanpa batas untuk masa depan.
________________________
Artikel ini khusus dibuat Redaksi Suara.com dalam rangka perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.