Suara.com - Sebuah detail kecil di panggung politik akbar Sidang Tahunan MPR/DPR RI menyita perhatian publik dan memicu spekulasi tajam.
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang awalnya tiba dengan dasi berwarna merah menyala, tiba-tiba tampil dengan dasi biru saat sidang dimulai. Bagi mata awam, ini mungkin sekadar pilihan fesyen.
Namun bagi pengamat politik, ini adalah sebuah pesan politik tersembunyi yang dimainkan dengan sangat halus, sebuah manuver yang diyakini meniru langsung dari buku pedoman politik sang ayah, Joko Widodo.
Pengamat Mikroekspresi dan Komunikasi, Kirdi Putra, menilai perubahan warna dasi ini bukanlah sebuah kebetulan. Menurutnya, ini adalah cerminan dari falsafah politik Jawa yang kerap digunakan Jokowi: bergerak dalam senyap dan penuh simbol.
"'Kalau engkau mau menyerang ke barat, bergeraklah ke timur.' Ini cocok sekali (dengan gaya berpolitik yang) dilakukan oleh Pak Jokowi, dan sepertinya oleh keluarganya," kata Kirdi dikutip dari ANTARA, Sabtu (16/8/2025).
Kirdi menjelaskan bahwa komunikasi politik ala Jokowi sering kali tidak mengandalkan kata-kata yang gamblang.
Sebaliknya, ia menggunakan tiga instrumen utama: simbol, sanepan (sindiran atau ucapan tidak langsung), dan pergerakan sunyi yang tak terduga. Perubahan warna dasi Gibran, menurutnya, adalah implementasi sempurna dari strategi ini.
Dua Sisi Mata Uang: Hormat atau Klaim Kesetaraan?
Lebih jauh, Kirdi membedah dua makna kontradiktif yang bisa dibaca dari perubahan warna dasi dari merah ke biru. Makna pertama, yang lebih diplomatis, adalah sebuah gestur penghormatan.
Baca Juga: Soal Pemakzulan Gibran, Rocky Gerung Yakin 100 Persen Pasti Mungkin
Warna biru sangat identik dengan Presiden Prabowo Subianto dan partainya. Dengan mengenakan dasi biru, Gibran seolah ingin mengatakan bahwa ia adalah bagian dari tim, solid, dan loyal kepada pemimpinnya.
Namun, ada makna kedua yang jauh lebih dalam dan berani. Menurut Kirdi, ini bisa menjadi klaim kesetaraan dan kesiapan Gibran untuk mengambil alih panggung utama.
"Bisa jadi diartikan bahwa saya juga layak mendampingi. Kalau ada apa-apa dengan Pak Prabowo, saya layak jadi Presiden, bisa juga dilihat dengan sudut pandang seperti itu, simbolnya. Jadi, kita mau mengartikan yang mana, ya terserah dan sah-sah saja," ujar Kirdi.
Interpretasi kedua ini menempatkan Gibran bukan lagi sebagai "ban serep" atau pendamping, melainkan sebagai figur yang setara dan siap menggantikan jika situasi menuntut. Sebuah pesan ambisius yang disampaikan tanpa satu kata pun terucap.
Namun, di balik permainan simbol yang kuat itu, Kirdi juga menangkap sinyal lain dari bahasa tubuh Gibran. Sorot mata dan gerak-geriknya di acara kenegaraan sebesar Sidang Tahunan MPR menunjukkan bahwa putra sulung Jokowi itu masih beradaptasi dengan panggung barunya.
"Kirdi menilai bahwa dalam waktu-waktu tertentu seperti sidang tahunan MPR bersama DPR-DPD RI Gibran masih canggung dan gugup," tulis laporan tersebut.