Cusdiawan menegaskan, bukti nyata dari hubungan dingin tersebut adalah sikap PDI Perjuangan yang konsisten menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan SBY. "Jadi bukan faktor ideologis semata," kata Cusdiawan.
Ia menambahkan, kondisi serupa terulang dalam hubungan Megawati dengan Jokowi. Bahkan, menurutnya, dampak secara kebatinan yang dirasakan Megawati dari dinamika politik dengan Jokowi lebih dalam dibandingkan dengan SBY.
"Terlebih lagi di moment tahun ini, yang mana hubungan Bu Mega tidak hanya kurang baik dengan Pak SBY, tapi juga dengan Pak Joko Widodo. Dan saya rasa, apa yang dilakukan oleh Pak SBY pada Bu Mega di tahun 2004, tidak 'separah' yang dilakukan Pak Jokowi di sisi kebatinan Bu Mega," kata Cusdiawan.
"Jadi saya rasa ini semakin menguatkan alasan pribadi Bu Mega untuk tidak menghadiri upacara di Istana," sambungnya.
Cusdiawan memandang akan sulit membayangkan hubungan antara Megawati dan Jokowi dapat pulih seperti sedia kala.
"Dalam hemat saya, akan menjadi salah satu konstelasi politik menarik ke depan bagaimana dinamika antara Bu Mega dengan PDIP-nya di satu sisi, dan trah Pak Jokowi dengan lingkaran maupun simpatisannya pada sisi yang lain," ujar Cusdiawan.
Sisi lain yang menarik adalah strategi kepemimpinan akomodatif yang kini dijalankan oleh Presiden Prabowo Subianto.
"Pak Prabowo yang nampak mengembangkan gaya kepemimpinan akomodatif untuk memposisikan diri di tengah panas-dinginnya hubungan tiga presiden sebelumnya, mengingat hubungan antara Pak Jokowi dan Pak SBY pun tidak selalu baik, meski tidak sekeras hubungan dua mantan presiden tersebut dengan Bu Mega," kata Cusdiawan.
Baca Juga: Prabowo Sudah Coba Merangkul, Tapi Luka Batin ke SBY dan Jokowi bikin Megawati Absen ke Istana?