Suara.com - Cirebon jadi salah satu daerah di Indonesia yang nilai PBB alami kenaikan siginifikan.
Lonjakan biaya PBB ini setidaknya mencekik Yayat Supriadi, seorang tukang las. Ia merasa tagihan PBB rumahnya terasa mustahil untuk dibayar.
Bagi Yayat, yang sehari-hari menggantungkan hidup dari pekerjaan serabutan di bengkel las di Jalan Raya Ahmad Yani, surat tagihan PBB tahun ini terasa seperti pukulan telak.
Angka yang biasanya ia sisihkan sekitar Rp380 ribu, kini melonjak fantastis menjadi Rp 2,3 juta.
Meskipun pemerintah kota memberikan stimulus yang memangkasnya menjadi Rp 1,7 juta, jumlah tersebut tetap terasa mencekik.
"Itu bagi saya yang pekerja buruh lepas harian kan merasa sangat terbebani," kata Yayat.
Lonjakan drastis ini merupakan imbas dari kebijakan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang diterapkan secara masif, sebuah strategi yang kini menjadi andalan banyak pemda untuk meningkatkan kas daerah.
Namun, bagi Yayat, kebijakan ini terasa buta terhadap realitas di lapangan.
Ia menyoroti bagaimana penetapan NJOP atas rumahnya senilai Rp1,2 miliar terasa tidak masuk akal.
Baca Juga: Cari Mobil Bekas Murah di Bawah 100 Juta? Ini 4 Rekomendasi Terbaik, Harga Jualnya Stabil!
Sebagai bukti, ia menunjuk rumah tetangganya yang dihargai Rp700 juta oleh pasar namun tak kunjung laku terjual.
Dengan nada putus asa sekaligus menantang, Yayat menceritakan responsnya saat berhadapan dengan petugas Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD).
"Rumah saya dihargain Rp1,2 miliar. Saya bilang ke pegawai, silakan Bapak yang beli. Sesuai dengan NJOP saja. Tapi mereka tidak bisa jawab, diam saja," ungkapnya.
Tantangan Yayat ini mengungkap inti masalah adanya kesenjangan besar antara valuasi di atas kertas demi target pajak dan harga riil di pasar properti.
Lebih jauh, ia mengkritik kebijakan yang memukul rata semua properti di pinggir jalan sebagai lahan produktif.
Kenyataannya, lokasi rumahnya justru sering terganggu oleh kemacetan lalu lintas, bukan mendatangkan keuntungan.