Turun Tahta di Jateng, Ironi Filosofi Korea Bambang Pacul di Kandang Banteng

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Kamis, 21 Agustus 2025 | 15:04 WIB
Turun Tahta di Jateng, Ironi Filosofi Korea Bambang Pacul di Kandang Banteng
Bambang Pacul 'ditendang' Megawati Soekarnoputri dari jabatan Ketua PDIP Jateng. [SuaraJatim/Yuliharto Simon]

Suara.com - Bambang Wuryanto, MBA, alias Bambang Pacul, politisi senior yang dikenal dengan gaya komunikasinya yang blak-blakan, harus rela melepaskan jabatannya sebagai Ketua DPD PDIP Jawa Tengah.

Ia secara resmi "ditendang" dari posisinya dan ditarik ke pusat sebagai Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Legislatif DPP PDI Perjuangan untuk masa bakti 2025-2030.

Keputusan tegas ini datang langsung dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Nomor: 02/KPTS/DPP/VIII/2025. Posisi komando di "kandang banteng" kini dipegang sementara oleh F.X. Hadi Rudyatmo sebagai Pelaksana Tugas.

Pencopotan ini bukanlah manuver politik biasa. Ini adalah konsekuensi langsung dari hasil pahit yang diterima PDIP pada Pemilu dan Pilkada 2024.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah reformasi, benteng pertahanan terkuat PDIP, Jawa Tengah, jebol. Pasangan calon yang diusung partai moncong putih harus menelan kekalahan telak di tanah yang selama ini menjadi lumbung suara utama mereka.

Bambang Pacul, sebagai komandan tempur di wilayah tersebut, dinilai menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas tragedi elektoral ini. Sinyal kemarahan Megawati sudah terlihat jelas saat Kongres ke-6 PDIP di Bali pada 2025.

"Awas lho, jangan memalukan saya lagi lho. Ah, nggak usah teriak-teriak. Yang penting kerjaan. Itu adalah arahan saya," tegas Megawati dengan nada tinggi, sebuah sindiran tajam yang diyakini tertuju pada kinerja di Jawa Tengah.

Sembari meluapkan kekecewaannya, Megawati bernostalgia tentang bagaimana ia susah payah membangun dan menjadikan Jawa Tengah sebagai basis kemenangan yang tak terkalahkan.

"Tiga kali berturut, menang terus. Jawa Tengah," kenangnya, menyiratkan betapa dalamnya luka akibat kekalahan saat ini.

Baca Juga: Singkirkan Bambang Pacul, PDIP Tunjuk FX Rudy di Jateng Demi Tegakkan Aturan Anti Rangkap Jabatan

Ironi Filosofi 'Korea' Sang Komandan

Terlepas dari nasib politiknya saat ini, Bambang Pacul adalah seorang figur yang fenomenal. Ia dikenal luas oleh publik, terutama kalangan muda, melalui penampilannya di berbagai acara talkshow politik. Salah satu warisannya yang paling unik adalah kepopuleran istilah "Korea" dalam leksikon politik tanah air.

Bagi Pacul, "Korea" bukanlah merujuk pada K-Pop atau drama. Istilah ini memiliki akar sejarah kelam dari masa penjajahan Jepang. Menurut versinya, istilah ini lahir dari para pekerja paksa (romusha) yang didatangkan Jepang dari Semenanjung Korea ke Indonesia selama Perang Dunia II.

“Para Korea yang sudah dijajah di Semenanjung Korea sana, ketika diambil penjajah Jepang bawa ke sini, inilah Korea-Korea yang bekerja di kelas paling bawah dari romusha,” katanya dalam acara Kongkow Bambang Pacul Edisi Malang bersama Total Politik.

Para pekerja paksa ini diberi tugas-tugas paling berat dan kasar, seperti memindahkan barang-barang dari truk. Karena status dan pekerjaan mereka, kaum priyayi dan masyarakat lokal saat itu memandang mereka sebagai kelas sosial terendah.

Stigma ini, menurut Pacul, yang membuat kata 'Korea' menjadi padanan untuk menyebut orang-orang dari kalangan bawah atau pasukan lapangan.

“Itu kerjanya berat, tapi militansinya kelas ‘A’. Inilah yang kemudian karena dianggap kelas bawah. Para petinggi kita, priyayi kita, yang pernah dilewati Jepang, manggilnya kalau ke kawan-kawan orang bawah, disebutlah ‘Korea-Korea’,” jelasnya.

“Itu karungnya disuruh nurunin, Korea-Korea itu disuruh nurunin karung dari truk, seperti itu. Jadi pasukan kelas bawah. Understand?” ujar Bambang Pacul.

Ironisnya, filosofi yang ia populerkan ini kini seolah menjadi bumerang. Sebagai komandan, ia gagal menggerakkan "pasukan Korea"-nya untuk memenangkan pertempuran di wilayahnya sendiri.

Kekalahan di kandang banteng menunjukkan adanya masalah serius dalam rantai komando, di mana sang jenderal tidak mampu memaksimalkan militansi pasukan di akar rumput.

Pencopotannya dari kursi Ketua DPD PDIP Jateng menjadi bukti bahwa dalam politik, sehebat apa pun filosofi seorang komandan, hasil di medan perang adalah satu-satunya yang dihitung.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI