Suara.com - Siapa Sultan Kemnaker? Pertanyaan ini belakangan ramai muncul setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar praktik dugaan pemerasan dalam proses sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
Sosok yang disebut sebagai Sultan Kemnaker adalah Irvian Bobby Mahendro Putro, seorang ASN yang berperan penting sekaligus tercatat sebagai penerima dana terbanyak dalam kasus yang menyeret mantan Wamenaker, Immanuel Ebenezer.
Siapa sebenarnya Irvian Bobby Mahendro Putro hingga disebut sebagai "Sultan Kemnaker"? Berikut penjelasan selengkapnya.
Peran Kunci Irvian dalam Skema Sertifikasi K3
Irvian disebut sebagai "Sultan" karena menguasai aliran dana yang sangat besar, jauh melampaui jabatannya sebagai koordinator di bidang K3.
Dari skema pemerasan yang berlangsung sejak 2019, ia diperkirakan meraup Rp69 miliar, sedangkan LHKPN terakhirnya hanya menunjukkan kekayaan sekitar Rp3,9 miliar.

Fakta inilah yang membuat publik penasaran, siapa sebenarnya Sultan Kemnaker dan bagaimana ia bisa mengendalikan praktik korupsi berskala nasional.
Irvian diketahui merupakan ASN yang menjabat sebagai Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 di Kemnaker periode 2022-2025.
Posisi ini menempatkannya di titik rawan karena berkaitan langsung dengan sistem sertifikasi K3 yang wajib dimiliki perusahaan.
Baca Juga: Talkshow Antikorupsi Batal Hadirkan Immanuel Ebenezer, Melanie Subono Meledek: Ganti Dress Code?
Menurut KPK, sejak 2019 biaya resmi pengurusan sertifikat K3 yang seharusnya hanya Rp275 ribu dinaikkan secara tidak sah hingga mencapai Rp6 juta.
Uang hasil selisih biaya tersebut kemudian masuk ke kantong beberapa pihak.
Dari total dana yang terkumpul sekitar Rp 81 miliar, porsi terbesar (sekitar Rp 69 miliar) disebut masuk ke kantong Irvian melalui perantara.
Praktik pemerasan ini dilakukan dengan cara intimidasi, sehingga perusahaan atau individu yang mengurus sertifikat tidak punya pilihan selain membayar tarif tinggi.
Dari situ tampak jelas peran besar Irvian sebagai sosok yang mengendalikan jalannya pungutan liar.
Julukan "Sultan" Berasal dari Sang Atasan
Menariknya, julukan "Sultan" justru diberikan oleh mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer (Noel).
Dalam sejumlah kesempatan, Noel menyebut Irvian sebagai sosok yang "paling banyak uang" di Direktorat K3.
Tidak hanya sekadar panggilan, hubungan keduanya bahkan merambah ke ranah pribadi.
KPK mengungkap bahwa Noel pernah meminta bantuan Irvian untuk renovasi rumahnya di Cimanggis, dan permintaan itu dikabulkan dengan pemberian uang sekitar Rp3 miliar.
Tak berhenti di situ, Noel juga diduga pernah bertanya kepada Irvian soal motor gede yang cocok untuknya.
Irvian bahkan membelikan satu unit motor Ducati dan mengirimkannya langsung ke kediaman Noel.
Hubungannya dengan Noel menunjukkan bahwa ia memiliki kendali, akses, dan kekuatan finansial yang tidak biasa untuk ukuran pejabat setingkat koordinator.
Tidak Sesuai dengan Data LHKPN
Meski diduga mengelola dana hingga puluhan miliar rupiah, catatan kekayaan resmi Irvian jauh lebih kecil.
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terakhir yang dilaporkan pada 2 Maret 2022, total harta Irvian tercatat hanya Rp3,9 miliar.
Dalam laporan itu, Irvian melaporkan kepemilikan tanah dan bangunan seluas 145 meter persegi di Jakarta Selatan senilai Rp1,27 miliar, sebuah mobil Mitsubishi Pajero senilai Rp335 juta, harta bergerak Rp75 juta, serta kas senilai Rp2,2 miliar. Tidak ada utang yang tercatat.
Angka ini terlihat wajar untuk seorang pejabat eselon, namun menjadi jomplang bila dibandingkan dengan temuan KPK bahwa ia diduga menerima aliran dana Rp69 miliar.
Berdasarkan laporan tersebut, ada indikasi kuat Irvian tidak patuh dalam melaporkan LHKPN.
Uang hasil pemerasan itu diduga dialirkan melalui modus penyamaran, seperti pembelian aset atau penggunaan rekening atas nama orang lain.
Menurut KPK, modus penyamaran aset melalui pihak ketiga menjadi salah satu cara yang kerap dipakai pelaku korupsi agar tidak terdeteksi dalam laporan resmi.
Perbedaan kontras antara catatan LHKPN dan temuan KPK di lapangan kini dijadikan landasan penting dalam penyidikan kasus.
Saat ini, masyarakat menunggu langkah hukum yang akan diambil untuk membongkar kasus ini.
Kasus ini memperlihatkan bahwa korupsi di sektor penting seperti K3 tak hanya merugikan negara, tetapi juga melemahkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Kontributor : Dini Sukmaningtyas