- Marak gerakan masyarakat menolak memberikan jalan bagi kendaraan yang pakai strobo dan sirene.
- Penggunaan strobo diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
- Suara sirene dan kilatan strobo kendaraan 'pejabat' di jalan raya sangat mengganggu pengendara.
Suara.com - Gerakan masyarakat yang menolak memberikan jalan bagi kendaraan non-prioritas yang menggunakan strobo dan sirene semakin marak. Menurut pengamat transportasi, fenomena ini adalah cerminan dari rasa ketidakadilan publik akibat penyalahgunaan alat tersebut oleh oknum, termasuk pengawalan pejabat.
Akademisi dari Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai bahwa akar masalah dari protes ini adalah penyalahgunaan yang sudah merajalela.
"Alasan paling mendasar adalah penyalahgunaan. Masyarakat sering melihat kendaraan pribadi atau pejabat yang bukan dalam keadaan darurat menggunakan strobo untuk menerobos kemacetan," ujar Djoko kepada wartawan, Senin (22/9/2025).
Menurut Djoko, kebiasaan ini telah mengubah persepsi strobo dari alat keselamatan menjadi simbol hak istimewa. Kondisi inilah yang memicu rasa ketidakadilan di jalan raya, ditambah lagi suara sirene dan kilatan strobo yang sangat mengganggu.
Padahal, Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini mengingatkan bahwa aturan penggunaan strobo sudah sangat jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Erosi Kepercayaan Publik
Penyalahgunaan ini juga berdampak serius pada menurunnya kepercayaan publik. Ketika sirene dan strobo dinyalakan, masyarakat kini kerap ragu apakah benar ada keadaan darurat atau hanya akal-akalan pengendara untuk mencari jalan pintas.
"Akibatnya, ketika ada situasi darurat yang nyata, respons masyarakat untuk memberikan jalan mungkin tidak secepat atau setanggap seharusnya," ujar Djoko.
Meski begitu, Djoko mengapresiasi langkah Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Agus Suryonugroho, yang mulai menertibkan penggunaan strobo dan sirene. Namun, ia menegaskan bahwa penertiban ini harus dilakukan secara berkelanjutan, bukan hanya sesaat.
Baca Juga: Korlantas Bekukan Patwal, Siapa Saja yang Kini Dilarang "Tot Tot Wuk Wuk"?
Sebagai solusi jangka panjang, ia mengusulkan agar pengawalan ketat dibatasi hanya untuk pejabat tertinggi.
"Dalam keseharian dengan hiruk pikuk kemacetan di Kota Jakarta, sebaiknya pengawalan dibatasi untuk Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan pejabat negara yang lain tidak perlu dikawal seperti halnya Presiden dan Wakil Presiden," pungkas Djoko.