- Perwakilan buruh tani menemui pimpinan DPR dan sejumlah menteri.
- Mereka menyampaikan sembilan tuntutan terkait reforma agraria.
- Tuntutan utama mereka adalah redistribusi tanah dan penyelesaian konflik.
Suara.com - Sejumlah organisasi massa tani menggelar aksi memperingati Hari Tani Nasional, Rabu (24/9/2025), di gedung DPR RI.
Tak hanya itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan sejumlah menteri juga melakukan pertemuan dengan perwakilan ormas-ormas tani yang berunjuk rasa untuk mendesakkan sejumlah tuntutan.
Pertemuan yang berlangsung di ruang Komisi XIII DPR sekitar pukul 13.15 WIB tersebut menjadi jembatan antara suara rakyat dari sektor agraris dengan para pemangku kebijakan.
Dari pihak parlemen, selain Dasco, ada pula Wakil Ketua DPR lainnya yakni Saan Mustopa.
Sementara itu, jajaran eksekutif diwakili oleh Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Yandri Susanto, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, hingga Kepala Staf Presiden M. Qodari.
Perwakilan massa aksi, yang terdiri dari berbagai elemen serikat seperti Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Pekerja Tani Karawang (SEPETAK), Pergerakan Petani Banten (P2B), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), hingga Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), memasuki ruang pertemuan dengan khidmat.
Beberapa di antara mereka tampak mengenakan topi caping, simbol otentik perjuangan kaum petani di Indonesia. Suasana audiensi dibuka secara lugas oleh pimpinan rapat.
“Untuk mempersingkat waktu, silakan disampaikan,” ucap Dasco dalam pertemuan tersebut.
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Perwakilan serikat tani menyampaikan sembilan tuntutan fundamental yang mereka sebut sebagai agenda penyelamatan agraria nasional.
Baca Juga: Hari Tani Nasional: Ini Sejarah dan Makna yang Perlu Kamu Tahu
Tuntutan ini merupakan rangkuman dari berbagai persoalan pelik yang selama ini membelit kehidupan petani, buruh tani, nelayan, dan masyarakat adat.
Sembilan Poin Tuntutan Mendesak
Pokok persoalan yang menjadi sorotan utama adalah mandat pelaksanaan Reforma Agraria sejati sesuai amanat UUPA 1960.
Mereka mendesak Presiden dan DPR untuk segera melakukan redistribusi tanah, menyelesaikan konflik agraria yang tak kunjung usai, dan mengevaluasi lembaga yang dinilai menghambat proses tersebut. DPR juga didorong membentuk Pansus untuk memonitor progres Reforma Agraria.
Kedua, para petani menuntut percepatan penyelesaian konflik di 1,76 juta hektar Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) serta menertibkan dan mendistribusikan 7,35 juta hektar tanah terlantar.
Mereka juga menyoroti monopoli tanah oleh konglomerat seluas 26,8 juta hektar dan mendesak penetapan batas maksimum penguasaan tanah oleh badan usaha swasta.
Tuntutan ketiga adalah pembentukan Badan Pelaksana Reforma Agraria yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Badan ini dianggap krusial untuk memastikan pelaksanaan mandat konstitusi Pasal 33 UUD 1945 berjalan efektif.
Di sisi legislasi, mereka mendesak pengesahan RUU Reforma Agraria yang melibatkan masyarakat sipil dan secara tegas menuntut pencabutan UU Cipta Kerja yang dianggap sebagai biang keladi perampasan tanah dan liberalisasi pangan.
Isu kesejahteraan dasar juga diangkat, di mana Presiden diminta memenuhi hak atas perumahan yang layak bagi petani, nelayan, buruh, dan masyarakat miskin kota, serta menjamin hak atas tanah bagi perempuan.
Stop Kriminalisasi dan Moratorium Izin Konsesi
Represifitas aparat menjadi poin tuntutan keenam. Serikat tani mendesak Presiden memerintahkan POLRI-TNI untuk menghentikan kekerasan di wilayah konflik agraria, membebaskan para aktivis yang dikriminalisasi, dan menarik keterlibatan militer dari program pangan nasional.
Poin ketujuh menyoroti lembaga dan proyek strategis. Mereka menuntut pembekuan Bank Tanah dan moratorium penerbitan izin konsesi perkebunan, kehutanan, dan tambang.
Proyek-proyek seperti PSN, KEK, Food Estate, hingga IKN yang tumpang tindih dengan tanah rakyat diminta untuk dikembalikan dalam kerangka Reforma Agraria.
Dari sisi anggaran, Presiden dan DPR diminta memprioritaskan APBN/APBD untuk redistribusi tanah, penyelesaian konflik, serta pembangunan infrastruktur pertanian yang berpihak pada rakyat, seperti subsidi pupuk, solar, dan benih.
Terakhir, mereka menuntut dukungan pemerintah untuk membangun industrialisasi pertanian, perikanan, dan peternakan yang dimiliki secara kolektif oleh petani dan nelayan dalam model ekonomi kerakyatan, sebagai jalan untuk mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kedaulatan pangan.