Rizal Mallarangeng: Menelaah Pergeseran Geopolitik Global dan Posisi Krusial Indonesia

Dythia Novianty Suara.Com
Kamis, 25 September 2025 | 10:10 WIB
Rizal Mallarangeng: Menelaah Pergeseran Geopolitik Global dan Posisi Krusial Indonesia
Pengamat politik Rizal Mallarangeng di channel YouTube Katadata Indonesia, Rabu (24/9/2025). [[Tangkapan layar]
Baca 10 detik
  • Pidato Prabowo di PBB jadi momentum refleksi arah politik luar negeri Indonesia
  • Rizal Mallarangeng menilai dunia kini memasuki era “perang dingin kedua” dengan konfigurasi multipolar
  • Konsep non-blok dianggap tak lagi relevan, Indonesia didorong menuju pendekatan “multiblok”

Suara.com - Pidato Presiden Prabowo Subianto di forum PBB baru-baru ini bukan hanya menjadi sorotan nasional, tetapi juga memicu refleksi mendalam mengenai arah geopolitik global dan posisi strategis Indonesia di dalamnya.

Pengamat politik Rizal Mallarangeng, melalui analisis tajamnya di kanal YouTube Katadata Indonesia, mencoba mengurai makna di balik pidato tersebut dengan menempatkannya dalam konteks sejarah dan proyeksi masa depan hubungan internasional, dikutip Rabu (24/9/2025).

Rizal memulai pandangannya dengan mengingatkan akan periode kedamaian dan kemajuan luar biasa yang telah dinikmati dunia selama delapan dekade terakhir.

“Dunia ini 80 tahun terakhir mengalami kemajuan paling pesat sepanjang sejarah manusia,” ucapnya.

Ia menyoroti revolusi teknologi, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan kualitas hidup yang signifikan.

Ketiadaan konflik global berskala besar menjadi salah satu kunci utama kemajuan ini.

"So far, sepanjang 80 tahun tidak terjadi perang," tegas Rizal.

Ia menggarisbawahi stabilitas relatif yang memungkinkan peradaban untuk berkembang.

Menurut Rizal, keberhasilan ini tidak terlepas dari peran sentral Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II dan terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai arsitek perdamaian dan kerja sama global.

Baca Juga: Muhaimin Puji Prabowo di Pidato PBB : Presiden yang Berhasil Pidato dengan Baik setelah Bung Karno

“Karena itu bisa katakan bahwa tugas Amerika setelah Perang Dunia Kedua dan PBB sebagai lembaga tertinggi persatuan bangsa-bangsa, itu sangat berhasil dengan segala kelemahannya,” ia menambahkan.

Dirinya mengakui bahwa meskipun PBB memiliki berbagai tantangan, fungsinya dalam mencegah eskalasi konflik besar telah terbukti efektif.

Namun, lanskap global saat ini jauh berbeda dari era ketika Presiden Soekarno menggema pidatonya yang legendaris di awal Perang Dingin.

Saat itu, perjuangan Indonesia masih terpusat pada sisa-sisa imperialisme, dengan seruan untuk membangun tatanan dunia baru yang lebih adil.

Rizal mengenang, “Awal Perang Dingin Bung Karno berpidato itu masih ada sisa sedikit masalah imperialisme, itu penting to build the world a new as a speech dia memakai seruan ‘tolong dong bujukin Belanda gausah lebih lama lagi di Irian Barat, kalau gak kita perang nih’ kira-kira gitu.”

Pidato Soekarno adalah manifestasi dari perjuangan bangsa muda yang berani menentang hegemoni dan menuntut kedaulatan penuh.

Kini, Rizal mempertanyakan relevansi konteks sejarah tersebut dengan kondisi kontemporer pasca-Perang Dingin.

“Konteks dengan Pak Prabowo sekarang, perang dingin sudah berakhir, apa penggantinya, geopolitik? apa ini multipolar world or what?” ucapnya.

Ia melihat adanya indikasi kuat bahwa dunia sedang bergeser ke fase yang oleh banyak pihak disebut sebagai "perang dingin kedua," meskipun dengan konfigurasi kekuatan yang berbeda dari sebelumnya.

“Kalau kita lihat orang berkata, ini perang dingin kedua, yang jelas pelakunya berganti, kalau dulu Soviet dengan Amerika, sekarang Soviet dengan China yang terdepan tapi bukan cuma mereka,” jelas Rizal.

Presiden Prabowo Subianto berpidato di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9/2025). [Handout/Sekretariat Presiden]
Presiden Prabowo Subianto berpidato di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (23/9/2025). [Handout/Sekretariat Presiden]

Ia mengidentifikasi Tiongkok sebagai aktor utama baru yang menantang dominasi tradisional, meskipun ia juga menekankan bahwa dinamika ini tidak lagi sesederhana konfrontasi dua kutub.

Ada banyak pemain lain yang turut membentuk mosaik kekuatan global.

Pergeseran fundamental ini, menurut Rizal, membawa implikasi besar bagi prinsip dasar politik luar negeri Indonesia.

Doktrin "non-blok" yang telah lama menjadi identitas diplomasi Indonesia, di mana negara menolak untuk beraliansi dengan salah satu blok kekuatan besar, kini perlu dipertimbangkan ulang.

“So bukan lagi non-blok, kalau kita mau bicara jujur sekarang, kita harus multiblok,” tandas Rizal dengan tegas.

Konsep "multiblok" yang ia ajukan menyiratkan sebuah realitas baru di mana Indonesia tidak bisa lagi hanya berdiri di tengah tanpa memilih sisi, melainkan harus secara proaktif menjalin hubungan strategis dan taktis dengan berbagai blok kekuatan yang ada, sesuai dengan kepentingan nasional.

Ini bukan berarti meninggalkan prinsip kemerdekaan dan kedaulatan, melainkan menginterpretasikannya secara lebih dinamis dalam menghadapi dunia yang semakin terfragmentasi namun juga saling terkoneksi.

Indonesia dituntut untuk memiliki keluwesan diplomasi yang lebih besar, mampu bernegosiasi dan berkolaborasi dengan berbagai entitas kekuatan, baik ekonomi maupun militer, tanpa secara permanen mengikatkan diri pada salah satu di antaranya.

Pidato Prabowo di PBB, dengan demikian, dapat dilihat sebagai momentum refleksi bagi Indonesia untuk meninjau kembali arah kebijakan luar negerinya.

Dalam menghadapi tantangan "perang dingin kedua" dan tatanan "multipolar" atau "multiblok," kemampuan Indonesia untuk beradaptasi, bernegosiasi, dan menjaga keseimbangan kepentingan akan menjadi kunci dalam mengamankan posisinya sebagai kekuatan regional yang berpengaruh di panggung global yang terus berubah.


Reporter: Safelia Putri

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI