Akademisi Kritik Program Makan Bergizi Gratis: Niat Baik, Eksekusi Bikin Masalah?

Vania Rossa Suara.Com
Jum'at, 03 Oktober 2025 | 16:04 WIB
Akademisi Kritik Program Makan Bergizi Gratis: Niat Baik, Eksekusi Bikin Masalah?
Ilustrasi Program Makan Bergizi Gratis (indonesia.go.id)
Baca 10 detik
  • Program Makan Bergizi Gratis yang digagas pemerintah dikritik karena memicu ribuan kasus keracunan.
  • Akademisi NTU, Prof. Sulfikar Amir, menilai persoalan MBG bukan sekadar teknis, melainkan fundamental, mulai dari distribusi yang terlalu luas hingga tujuan ekonomi yang menggeser aspek sosial.
  • Ia menegaskan, program kesejahteraan seharusnya fokus pada keamanan dan kesejahteraan masyarakat, bukan pada target pertumbuhan ekonomi.

Suara.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang pemerintah sebagai upaya meningkatkan kualitas gizi anak bangsa kini justru menuai kritik keras. Sejak dijalankan, ribuan kasus keracunan dilaporkan terjadi di berbagai daerah.

Akademisi Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Prof. Sulfikar Amir, menilai persoalan mendasar MBG tidak hanya terletak pada aspek teknis, melainkan juga bersifat struktural.

“Program makanan bergizi gratis—atau lebih tepat saya sebut proyek—memang punya niat baik. Tetapi ada empat masalah fundamental yang perlu digarisbawahi, yang membuat MBG bermasalah hingga mengakibatkan ribuan kasus keracunan,” ujarnya.

Prof. Sulfikar juga menyoroti respons pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, yang menyebut kasus keracunan hanya 0,0017 persen dari total penerima. Baginya, pernyataan tersebut tidak tepat.

“Walaupun dinormalisasi oleh Prabowo dengan mengatakan kasus ini cuma 0,0017 persen, buat saya itu tidak bermakna. Dalam situasi krisis, sekecil apa pun angkanya, tetap berbicara soal manusia. Jadi bukan sekadar persentase,” tegasnya.

Salah satu masalah fundamental MBG, lanjutnya, adalah skala distribusi yang terlalu luas. Menurut dia, program kesejahteraan tidak bisa bersifat universal, melainkan harus tepat sasaran.

“Dalam program kesejahteraan ada dua pendekatan distribusi: universal, di mana semua orang mendapatkannya, atau targeted, di mana hanya kelompok tertentu yang menerima. Untuk mengatasi ketimpangan, biasanya program bersifat targeted,” jelasnya.

Sebagai contoh, ia menyebut Amerika Serikat yang sejak 1904 menjalankan National School Lunch Program (NSLP) di era Presiden Truman. Program tersebut bersifat targeted, sehingga tidak semua siswa mendapat makan siang gratis.

Selain distribusi, Prof. Sulfikar menilai perencanaan MBG terlalu menekankan pada dorongan pertumbuhan ekonomi ketimbang tujuan sosial.

Baca Juga: Kepala BGN: Dampak Program MBG Nyata, Tapi Tak Bisa Dilihat Instan

“Masalah kedua adalah perencanaan MBG yang dijadikan instrumen untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Ini problematik,” ungkapnya dalam kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Jumat (3/10/2025).

Ia mengakui program makan sekolah bisa memberi multiplier effect bagi petani maupun pengusaha kecil. Namun, jika tujuan utamanya sekadar mendorong pertumbuhan ekonomi 2 hingga 3 persen, maka efektivitas program justru berkurang.

“Program kesejahteraan tidak boleh diperlakukan sebagai instrumen ekonomi semata. Tujuannya bukan profit, tapi sosial. Tanpa mekanisme pasar dan profit besar, sulit menjadikan program ini sebagai motor pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Benturan antara kepentingan ekonomi dan sosial, menurutnya, justru membuat MBG kehilangan arah.

“Dua kepentingan ini bertemu, dan akhirnya program MBG gagal menjaga kesejahteraan sekaligus tidak menghasilkan pertumbuhan ekonomi signifikan. Itu inti masalahnya,” pungkasnya.

Reporter: Maylaffayza Adinda Hollaoena

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI