- Gen Z aktif di media sosial bisa menggerakkan aksi politik nyata, bukan sekadar tren.
Suara.com - Maraknya generasi Z yang menyuarakan isu politik di media sosial menimbulkan pertanyaan terkait kedalaman pemahaman politik mereka. Di sisi lain, fenomena mobilisasi massa seperti “Garuda Biru” memperlihatkan bahwa ruang digital kini menjadi arena efektif untuk konsolidasi politik dan ekspresi demokrasi.
Fenomena ini menjadi topik bahasan dalam kuliah terbuka bertajuk “Demokrasi, Agonisme, dan Oposisi Permanen” di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat.
Hilma, seorang peserta yang juga guru madrasah, mempertanyakan apakah gelombang aktivisme digital oleh Gen Z benar-benar lahir dari pemahaman politik yang mendalam.
“Apakah generasi muda yang aktif di media sosial hari ini benar-benar terlibat dengan politik, atau hanya mencari pengakuan diri lewat postingan dan tren sesaat?” tanyanya.
Menanggapi hal ini, Dosen Filsafat dan pembicara, Augustinus Setyo Wibowo, memberikan contoh nyata bagaimana ruang digital mampu menjadi sarana konsolidasi politik yang efektif. Ia merujuk pada fenomena protes massa “Garuda Biru” yang meledak di media sosial pada Agustus 2024.
“Jam 6 sore, narasi ‘Garuda Biru’ mulai tersebar. Tengah malam sudah ramai, dan keesokan paginya aktivis, dosen, mahasiswa, semua bergerak ke MK dan DPR,” ujar Setyo, menjelaskan bagaimana aksi itu terjadi secara spontan tanpa rapat persiapan, hanya melalui koordinasi digital.
Setyo juga menyoroti serangkaian aksi massa pada 28-29 Agustus 2025 sebagai bukti nyata kekuatan media sosial dalam menggerakkan aksi dunia nyata. “Bagaimana bisa mengumpulkan orang sebanyak itu hanya lewat ruang digital? Itu karena kita makhluk sosial, relasi yang terbentuk di dunia maya mendorong keterlibatan nyata,” tambahnya.
Menurut Setyo, media sosial telah menjadi arena politik baru, karena menyediakan wadah untuk mengekspresikan perbedaan nilai, identitas, dan aspirasi ketika jalur formal seperti partai dan parlemen tidak lagi efektif. “Dimensi politik tak pernah hilang; ketika jalur resmi tertutup, ia akan mencari jalannya sendiri,” ujarnya.
Kondisi ini membuat rakyat menyalurkan aspirasi melalui platform digital seperti Twitter, X, Instagram, dan TikTok. Meski bentuknya sering kasar, spontan, dan emosional, Setyo menekankan media sosial tetap menjadi arena agonistik yang relevan bagi ekspresi politik saat ini.
Baca Juga: 15 Detik yang Membahayakan: Kecanduan Video Pendek Merusak Otak?
Reporter : Nur Saylil Inayah