- Ahli gizi menekankan agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) memastikan nutrisi anak terpenuhi dan risiko keracunan diminimalkan
- Program MBG disarankan menyesuaikan bahan makanan dengan ketersediaan lokal di tiap daerah
- Standar kebersihan dan pengelolaan pangan di SPPG Polri dianggap sangat higienis dan bisa menjadi contoh bagi pelaksanaan MBG
Suara.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah belakangan ini mendapat sorotan dari para pakar gizi.
Dalam diskusi bertajuk “Dinamika dan Harapan Menuju Indonesia Emas 2045” yang digelar Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), beberapa masukan penting disampaikan agar program ini efektif dan aman bagi anak-anak Indonesia.
Prof. Tjandra Yoga Aditama dari Universitas Yarsi menekankan pentingnya evaluasi keamanan dan kualitas gizi makanan dalam program MBG.
“Pertama tentu evaluasi keracunan. Kita sudah punya pengalaman, dan ini harus diminimalisir agar tidak terjadi lagi,” ujar Tjandra, Kamis (16/10) di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Selain itu, Prof. Tjandra meminta pemerintah meninjau ulang kandungan gizi makanan yang diberikan.
![Sejumlah guru membagikan MBG pada siswa di SMAN 1 Yogyakarta meski sempat mengalami keracunan, Kamis (16/10/2025). [Kontributor/Putu]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/16/59301-pengambilan-mbg.jpg)
Menurutnya, MBG harus benar-benar menjamin anak-anak mendapatkan nutrisi yang cukup, bukan sekadar menu terbatas seperti hanya wortel atau lauk sederhana.
Tak hanya itu, Tjandra juga menyinggung opsi distribusi dan pendanaan yang lebih fleksibel.
Beberapa daerah atau negara lain, kata dia, menggunakan metode membayar sebagian atau melibatkan pihak sekolah dan pemerintah daerah untuk memastikan program lebih efisien dan tepat sasaran.
Sementara itu, Marudut Sitompul, ahli gizi Persagi, menekankan pentingnya kearifan lokal dalam program MBG.
Baca Juga: BGN Sebut Presiden Sudah Hitung Sendiri: Menu MBG Rp 10 Ribu Bisa Pakai Ayam dan Telur
“Pangan lokal sangat penting. Tidak setiap daerah harus selalu menggunakan beras. Bisa menyesuaikan dengan bahan lokal, asalkan kandungan gizinya terpenuhi,” ujarnya.
Misalnya, jika kangkung tidak tersedia, dapat diganti bayam, atau sagu bisa menjadi pengganti nasi di wilayah tertentu.
Selain itu, kedua ahli gizi sepakat bahwa Satuan Penyelenggara Pangan Gizi (SPPG) Polri bisa menjadi role model nasional.
SPPG Polri dinilai memiliki standar kebersihan yang luar biasa, sehingga menjadi contoh bagi pelaksanaan MBG di seluruh Indonesia.
“Perwakilan Kementerian Pertanian yang datang pada bulan Juni menilai SPPG Polri sangat higienis. Ini bisa menjadi acuan untuk menjaga keamanan makanan dan mencegah keracunan,” kata Tjandra.
Dengan sejumlah evaluasi ini, pakar gizi berharap program MBG dapat berjalan lebih efektif, higienis, dan sesuai standar gizi, sehingga bisa benar-benar meningkatkan kesehatan generasi muda Indonesia.