- Pengacara dan petinggi Wilmar didakwa suap Rp 40 miliar.
- Suap diduga untuk 'beli' vonis lepas dalam kasus korupsi CPO.
- Uang haram dibagi-bagi ke tiga hakim lewat perantara.
Suara.com - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri, bersama petinggi Wilmar Group, telah menggelontorkan suap sebesar Rp 40 miliar untuk "membeli" vonis lepas bagi tiga korporasi sawit.
Uang puluhan miliar dalam bentuk dolar AS itu diduga diberikan kepada tiga orang hakim untuk memengaruhi putusan dalam perkara pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).
"Memberikan uang tunai dalam bentuk mata uang Dollar Amerika (USD) sejumlah USD 2.5 juta atau senilai Rp. 40 miliar kepada hakim,” kata jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (22/10/2025) malam.
Jaringan Penyuap dan Penerima
Para terdakwa, yakni Marcella Santoso, Ariyanto Bakri, Junaedi Saibih, dan Muhammad Syafei (dari Wilmar Group)—diduga bersekongkol untuk menyuap tiga hakim, yaitu Djuyamto (Hakim PN Jakarta Selatan), Agam Syarief Baharudin (Hakim PN Jakarta Timur), dan Ali Muhtarom (Hakim Ad Hoc Tipikor PN Jakarta Pusat).
Modus operandinya sangat rapi. Jaksa mengungkap bahwa uang suap diserahkan melalui dua perantara kunci di internal pengadilan, yakni Muhammad Arif Nuryanta (Wakil Ketua PN Jakarta Pusat) dan Wahyu Gunawan (Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara).
Pemberian dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, sebesar USD 500 ribu (Rp 8 miliar), yang kemudian dibagi-bagi kepada para perantara dan ketiga hakim.
Kemudian tahap kedua, yakni USD2 juta (Rp32 miliar) yang juga didistribusikan dengan skema serupa.
“Pemberian pertama, uang tunai dalam bentuk pecahan USD 100 sebesar USD 500 ribu atau kurang lebih senilai Rp 8 miliar,” ujar jaksa.
Baca Juga: Skandal Vonis Lepas Kasus CPO, Sidang Perdana Hakim Djuyamto dkk Mulai Digelar Pekan Depan
Dia memerinci uang tersebut diduga diterima oleh Muhammad Arif Nuryanta sebanyak Rp 3,3 miliar, Wahyu Gunawan Rp 800 juta, Djuyamto Rp 1,7 miliar, Agam Syarief Rp 1,1 miliar, dan Ali Muhtarom Rp 1,1 miliar. Penerimaan itu dilakukan menggunakan maya uang USD.
“Pemberian kedua, uang tunai dalam bentuk pecahan sebesar USD 2 juta atau senilai Rp 32 miliar,” ucap jaksa.
Adapun rincian uang pemberian kedua ini diduga diterima dengan mata uang USD oleh Arif senilai Rp 12,4 miliar, Wahyu Rp 1,6 miliar, Djuyamto Rp 7,8 miliar, Agam Rp 5,1 miliar, dan Ali Rp 5,1 miliar.
Untuk itu, Marcella, Ariyanto, Junaedi Saibih, dan Safe’i diduga melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.