- KemenPPPA melaporkan 25.627 kasus kekerasan dengan 27.325 korban dalam setahun terakhir, menunjukkan masalah sistemik yang masih mengakar.
- Menteri PPPA Arifah Fauzi menegaskan komitmen memperkuat pencegahan lewat kolaborasi lintas sektor dan peluncuran program Ruang Bersama Indonesia untuk memulihkan solidaritas sosial di masyarakat.
- Selain itu, KemenPPPA juga menyoroti maraknya penipuan daring yang menimpa perempuan dan menegaskan pentingnya literasi digital sebagai bentuk perlindungan baru.
Suara.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat ada 25.627 kasus kekerasan dengan 27.325 korban dalam setahun terakhir. Angka tersebut dihimpun melalui sistem informasi daring Simfoni PPA, yang merekam laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di seluruh Indonesia.
Menteri PPPA Arifah Fauzi mengakui bahwa selama ini pihaknya lebih banyak bertindak sebagai “pemadam kebakaran” atau baru bertindak usai adanya pengaduan kasus. Ia menegaskan, ke depan KemenPPPA akan memperkuat upaya pencegahan di tingkat hulu agar kekerasan tidak terus berulang.
“Jadi, persis setahun ini kami mendapati bahwa selama setahun ini kami lebih banyak menjadi pemadam kebakaran. Tahun depan, kami tidak ingin hanya menjadi pemadam kebakaran,” kata Arifah dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Arifah mengatakan, tingginya angka kekerasan menunjukkan masalah yang bersifat sistemik. Di media, kasus serupa bahkan bisa muncul lebih dari 10 kasus per hari. Ia menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk menghentikan siklus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Saat ini kami melakukan pemenuhan hak anak dan perempuan untuk mendapatkan perlindungan. Tahun selanjutnya, kami sudah merencanakan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk media, kementerian/lembaga, organisasi masyarakat, serta mitra-mitra lainnya,” ujar Arifah.
Menurutnya, KemenPPPA telah mengidentifikasi lima faktor utama penyebab kekerasan, yakni faktor ekonomi, pola asuh keluarga, pengaruh gawai dan media sosial, lingkungan, serta budaya, terutama praktik perkawinan anak yang disebut menjadi akar kekerasan dan kemiskinan struktural.
Sebagai langkah pencegahan, KemenPPPA meluncurkan program Ruang Bersama Indonesia (RBI). Program ini diarahkan untuk memperkuat solidaritas sosial di tingkat komunitas dan menghidupkan kembali nilai kebersamaan yang dinilai mulai luntur akibat pengaruh teknologi.
“Kami melihat hubungan antaranggota masyarakat sudah semakin berjarak karena pengaruh gawai. Kebersamaan untuk membangun solidaritas sudah semakin menjauh di lingkungan masyarakat kita. Harapannya, melalui program ini kita bisa mengikat kembali rasa solidaritas, persaudaraan di tingkat desa,” ujar Arifah.
Sementara itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Desy Andriani menyoroti meningkatnya kasus penipuan daring yang menimpa perempuan, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi dan mapan secara ekonomi.
Baca Juga: Mantan Kapolres Ngada Fajar Widyadharma Hadapi Vonis, DPR Desak Hukuman Maksimal
Menurut Desy, fenomena ini menegaskan bahwa kejahatan digital tidak lagi hanya menyasar kelompok ekonomi lemah, melainkan juga perempuan dengan posisi sosial yang relatif kuat.
“Ini menjadi keprihatinan kami, karena perempuan dalam konteks ini bisa dikatakan rentan dan perlu penguatan. Kami akan terus memberikan pendampingan serta literasi digital agar perempuan tidak menjadi korban-korban berikutnya,” kata Desy.
KemenPPPA menilai, upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak tidak bisa lagi sekadar menunggu laporan masuk. Diperlukan sistem yang terintegrasi, berbasis data, serta pendekatan sosial dan digital yang adaptif agar perlindungan dapat berjalan lebih efektif.