-
Gelar pahlawan Soeharto ciptakan kontradiksi sejarah.
-
Nasib aktivis Reformasi '98 dan korban HAM dipertanyakan.
-
DPR akan kaji mendalam usulan gelar pahlawan tersebut.

Dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/1998, disebutkan bahwa pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap menjunjung prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.
"Sejak awal, pencabutan ini merupakan langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Fakta itulah yang mendorong gerakan Reformasi 1998," katanya dalam keterangan yang diterima, Senin (27/10/2025)..
"Maka, upaya elite politik dan penyelenggara negara untuk sebelumnya mencabut Pasal dalam TAP MPR Nomor XI/1998 yang menyebut Soeharto dan kini mengajukan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional nyata-nyata mengalami amnesia politik dan sejarah serta mengkhianati amanat reformasi,” tegasnya.
Hendardi menegaskan bahwa penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional akan melanggar hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Dalam Pasal 24 UU tersebut, terdapat syarat umum bahwa penerima gelar tidak pernah dipidana minimal lima tahun penjara berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap, serta harus memiliki integritas moral, keteladanan, dan rekam jejak baik.
“Mengacu pada undang-undang tersebut, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” jelasnya.