SETARA Institute: Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto Pengkhianatan Reformasi!

Senin, 27 Oktober 2025 | 18:35 WIB
SETARA Institute: Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto Pengkhianatan Reformasi!
Ilustrasi masyarakat sipil menola pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto saat mengikuti Aksi Kamisan ke-883 di depan Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis (23/10/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Baca 10 detik
  • Hendardi menolak keras rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto karena langgar hukum.
  • Ia menilai langkah pemerintah dan elite politik itu mengkhianati semangat Reformasi 1998.
  • Putusan MA terkait Yayasan Supersemar dijadikan bukti Soeharto tak layak mendapat gelar pahlawan.

Suara.com - Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, mengecam keras upaya pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto.

Ia menilai langkah tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat Reformasi 1998 sekaligus pelanggaran terhadap hukum yang berlaku di Indonesia.

Hendardi menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan RI sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, yang menyebut seluruh tokoh yang diusulkan oleh Kementerian Sosial, termasuk Soeharto, telah memenuhi kriteria.

Menurut Hendardi, hal itu menunjukkan bahwa upaya menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional dilakukan secara sistematis oleh pemerintahan Prabowo Subianto bersama elite politik di sekitarnya.

Ia juga menyinggung langkah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang, sebulan sebelum pelantikan Presiden Prabowo, mencabut nama Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor XI/1998, disebutkan bahwa pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, termasuk mantan Presiden Soeharto, dengan tetap menjunjung prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.

“Sejak awal, pencabutan ini merupakan langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Fakta itulah yang mendorong gerakan Reformasi 1998. Maka, upaya elite politik dan penyelenggara negara untuk sebelumnya mencabut Pasal dalam TAP MPR Nomor XI/1998 yang menyebut Soeharto dan kini mengajukan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional nyata-nyata mengalami amnesia politik dan sejarah serta mengkhianati amanat reformasi,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi dalam keterangannya, Senin (27/10/2025).

Hendardi menegaskan bahwa penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional akan melanggar hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Dalam Pasal 24 UU tersebut, terdapat syarat umum bahwa penerima gelar tidak pernah dipidana minimal lima tahun penjara berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap, serta harus memiliki integritas moral, keteladanan, dan rekam jejak baik.

Baca Juga: PVRI: Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Tanda Kembalinya Bayang-Bayang Orde Baru?

“Mengacu pada undang-undang tersebut, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” jelasnya.

Dalam aspek hukum korupsi, Hendardi menyinggung Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2005, yang menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Yayasan tersebut diwajibkan membayar kepada Pemerintah RI sebesar US$315.002.183 dan Rp139.438.536.678,56, atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat itu.

Soeharto didakwa menerbitkan berbagai peraturan dan keputusan presiden yang menguntungkan tujuh yayasan di bawah kendalinya.

Dana dari yayasan-yayasan itu kemudian mengalir ke 13 perusahaan yang berafiliasi dengan keluarga dan kroni Cendana.

"Pendek kata, menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah tindakan yang salah dan melawan hukum negara. Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan, yang dapat disederhanakan dalam ungkapan ‘Negara adalah aku’ atau L'État, c'est moi seperti ungkapan Raja Louis XIV,” katanya.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI