-
Gelar pahlawan Soeharto ciptakan kontradiksi sejarah.
-
Nasib aktivis Reformasi '98 dan korban HAM dipertanyakan.
-
DPR akan kaji mendalam usulan gelar pahlawan tersebut.
Suara.com - Sebuah dilema moral yang tajam mengemuka di tengah polemik wacana gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Pertanyaan krusial, muncul 'bagaimana nasib dan rasa keadilan para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) era Orde Baru?'
Dilema tersebut disuarakan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati.
Menurutnya, menyandingkan status pahlawan bagi Soeharto dengan keberadaan para korban yang diakui negara adalah sebuah kontradiksi yang sulit diterima nalar.
"Pemahamannya juga menjadi nggak clear, ketika juga di situ muncul nama-nama yang merupakan korban HAM pada saat itu," tegas Esti di Jakarta, Selasa (28/10/2025).
"Nah kemudian mereka yang menjadi korban ini harus bersama-sama menerima gelar pahlawan, ini logikanya dari mana? Nah saya kira ini juga perlu di-clear-kan terlebih dahulu," katanya.
Ia menilai, sebelum keputusan diambil, dampak psikologis dan historis terhadap para korban dan keluarganya harus menjadi pertimbangan utama.
Selain itu, Esti juga menyoroti paradoks lain terkait nasib para aktivis Reformasi 1998.
"Tentu ada beberapa hal yang perlu diverifikasi terlebih dahulu, bagaimana nanti nasib para reformis ketika kemudian beliau diberi gelar pahlawan nasional. Berarti dia melawan pahlawan nasional," ujarnya.
Baca Juga: Ketua DPP PDIP: Soeharto 'Pembunuh Jutaan Rakyat' Tak Pantas Jadi Pahlawan!
Komisi X, kata Esti, akan membawa isu kompleks ini ke dalam pembahasan resmi di parlemen bersama Kementerian Sosial dan Kementerian Kebudayaan untuk memastikan semua aspek dikaji secara mendalam.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf mengemukakan nama-nama tokoh yang akan mendapat gelar Pahlawan Nasional diumumkan secara resmi sebelum Hari Pahlawan 10 November 2025.
"Ya mudah-mudahan, insyaAllah sih. InsyaAllah sebelum 10 November dan nanti dari nama-nama itu akan dipilih beberapa nama," kata dia menjawab pertanyaan pewarta selepas upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 di Museum Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (28/10).
Ada 40 nama yang diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), dan sebagian besar nama tersebut merupakan hasil pembahasan dari tahun-tahun sebelumnya.
![Politisi PDIP My Esti Wijayati mengemukakan keberatannya apabila Soeharto ditetapkan menjadi pahlawan nasional. [Suara.com/Bagaskara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/28/93073-politisi-pdip-my-esti-wijayati.jpg)
Namun, dia memastikan bahwa proses penetapan calon pahlawan nasional dilakukan melalui mekanisme seleksi berlapis dan melibatkan berbagai unsur, mulai dari masyarakat hingga tim ahli tingkat pusat.
Selain nama Presiden Soeharto, nama tokoh buruh perempuan yang menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru, Marsinah juga diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional.
Selain itu, ada nama Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Jawa Timur), Syaikhona Muhammad Kholil; Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri; KH Muhammad Yusuf Hasyim dari Tebuireng, Jombang; Jenderal TNI (Purn) M Jusuf (Sulawesi Selatan), dan Jenderal TNI Purn Ali Sadikin (Jakarta).
Selanjutnya ada Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur), HM Sanusi (Jawa Timur), KH Bisri Syansuri (Jawa Timur), HB Jassin (Gorontalo), Sultan Muhammad Salahuddin (Nusa Tenggara Barat).
Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat), Ali Sastroamidjojo (Jawa Timur), dr Kariadi (Jawa Tengah), RM Bambang Soeprapto Dipokoesomo (Jawa Tengah).
Kemudian, Basoeki Probowinoto (Jawa Tengah), Raden Soeprapto (Jawa Tengah), Mochamad Moeffreni Moe'min (Jakarta), KH Sholeh Iskandar (Jawa Barat).
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Sumatera Barat), Zainal Abidin Syah (Maluku Utara), Gerrit Agustinus Siwabessy (Maluku), Chatib Sulaiman (Sumatera Barat), dan Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah).