- Penghormatan yang berlebihan ini terjadi karena masyarakat menghormati jabatan, bukan individunya.
- Ray Rangkuti mengaku sedang mengkampanyekan perubahan mentalitas terhadap fenomena ini.
- Kritik Ray Rangkuti ini menyoroti perlunya perubahan pola pikir agar penghormatan diberikan berdasarkan kontribusi dan kinerja.
Suara.com - Pengamat politik Ray Rangkuti mengkritik keras fenomena yang ia sebut sebagai "kultur pejabatisme" di Indonesia, di mana kehadiran pejabat seolah menjadi tolak ukur kesuksesan suatu acara dan mereka mendapatkan penghormatan otomatis hanya karena jabatan.
Dalam sebuah diskusi di kanal YouTube Forum Keadilan TV, Ray Rangkuti menyoroti kebiasaan masyarakat yang selalu menempatkan penghormatan pertama kepada pejabat dalam setiap acara.
“Coba anda bayangkan, di negara kita ini apapun peristiwanya kalau dihadiri pejabat itu sukses namanya. Itu kultur pejabatisme,” ujar Ray Rangkuti.
Ia melanjutkan, “Di mana-mana kalau kita punya acara nih, mesti kata yang keluar pertama kali itu setelah salam yang terhormat bupati, walikota, gubernur, gitu. Itu negara pejabatisme.”
Ray Rangkuti mengaku sedang mengkampanyekan perubahan mentalitas terhadap fenomena ini.
Ia bahkan menyarankan kepada mahasiswa yang mengundangnya berdiskusi untuk menempatkan pejabat di baris paling belakang sampai pejabat tersebut membuktikan kelayakannya untuk dihormati.
“Saya sendiri dalam situasi yang sedang mengkampanyekan untuk mulai mengubah mentality pejabatisme itu,” katanya.
“Saya seringkali mengatakan ke beberapa kawan mahasiswa yang kebetulan mengajak saya diskusi, ‘Kalau kalian ngundang pejabat, tempatkan di baris paling bawah belakang aja’, sampai ia bisa membuktikan memang ia layak dihormati,” ucapnya.
Menurut Ray Rangkuti, penghormatan yang berlebihan ini terjadi karena masyarakat menghormati jabatan, bukan individunya.
Baca Juga: Naik Tips, OCBC Nisp Catat Laba Rp3,82 Triliun
“Kenapa bisa terjadi begitu? Karena orang menghormati jabatannya itu. Jadi siapapun yang masuk di situ itu otomatis, dia akan mendapatkan penghormatan,” jelasnya.
“Bahkan ketika gak berbuat apa-apapun, dia tetap terhormat karena jabatan itu.”
Kritik Ray Rangkuti ini menyoroti perlunya perubahan pola pikir agar penghormatan diberikan berdasarkan kontribusi dan kinerja, bukan semata-mata karena posisi atau kedudukan.
Reporter: Safelia Putri