- UNFPA Indonesia menyatakan remaja 15-24 tahun mendominasi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO).
- Dampak kekerasan digital meluas dari dunia maya ke trauma psikologis dan fisik nyata di kehidupan sehari-hari.
- Korban enggan melapor karena stigma, ketakutan pembatasan, dan minimnya literasi digital orang tua.
Suara.com - Remaja perempuan dinilai menjadi kelompok paling rentan dalam ekosistem digital saat ini. United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia mengungkapkan bahwa kelompok usia 15-24 tahun mendominasi statistik korban kekerasan berbasis gender online (KBGO), sebuah fenomena yang diperburuk oleh stigma sosial dan kurangnya literasi digital orang tua.
Hal tersebut disampaikan oleh UNFPA Indonesia Assistant Representative, Verania Andrian, dalam acara Press Briefing UNiTE to End Digital Violence Against All Women and Girls di Kantor PBB Indonesia, Jakarta, Kamis (20/11/2025).
Verania membuka pemaparannya dengan mengajak publik memahami realitas kekerasan di dunia maya.
"Apasih kekerasan digital itu? jenis-jenis kekerasa digital juga berbagai bentuk," ujar Verania.
Ia menegaskan bahwa dari berbagai bentuk tersebut, perempuan menjadi kelompok yang paling dirugikan.
"Kekerasan digital ini yang terjadi dan dominannya adalah kekerasan seksual dan korbannya adalah perempuan," jelasnya.
Berdasarkan data survei tahun 2024, Verania menyoroti kelompok usia muda yang menjadi korban dominan.
"Anak perempuan usia 15-24 tahun, kalau kita lihat data yang tadi, tentang survei pengalaman hidup perempuan di Indonesia 2024," sebutnya.
Menurut Verania, ancaman ini memiliki konsekuensi nyata. Masalah yang bermula dari layar gawai sering kali bermanifestasi menjadi dampak fisik dan psikologis yang serius.
Baca Juga: Menstruasi Tidak Teratur? Ini Tanda PCOS yang Perempuan Wajib Kenali!
"Dampak negatif seolah-olah masalahnya ada di digital, jadi dampak negatif kekerasan digital itu bukan hanya di virtual tapi juga bisa di dunia nyata," paparnya.
Ia memberi contoh kasus pelanggaran privasi di ruang publik yang kini marak terjadi.
"Katanya kemarin gak usah foto-foto yang sensual badan, karena privasi ketika orang pada lari-lari terus ada fotografer, itu jadi masalah," tuturnya.
Dampak psikologis menjadi perhatian utama UNFPA, mengingat penyebaran konten berbahaya bisa memicu trauma mendalam.
"Kekerasan digital ini bahkan kalau misalnya lebih jauh lagi ada trauma psikologis, tidak jarang kita melihat ada gerakan-gerakan yang menyebarkan kebencian," tambah Verania.
Risiko ini meningkat tajam pada remaja perempuan karena fase perkembangan psikologis yang mereka alami.
"Nah, kalau kita lihat dari sisi perspektif perempuan, anak perempuan, terutama untuk remeja perempuan, ini tantangannya menjadi lebih besar," katanya.
"Kenapa? karena mereka ada di usia-usia yang mencari jati diri,” ucapnya.
Tingginya aktivitas daring kelompok usia ini di media sosial menjadi salah satu faktor pendorong utama.
"Jadi, kalau kita lihat siapa sih yang paling banyak gitu ya, di ranah daring itu, remaja perempuan 15-24 tahun, terutama media sosial," ungkap Verania.
"Kemudian, berdampak pada kesehatan mental si remaja perempuan tersebut."

Sayangnya, kerentanan ini sering kali tidak tertangani karena korban enggan melapor. Verania menyoroti adanya hambatan komunikasi antara remaja dan orang tua.
“Karena dia sedang mengalami masa transisi, 12-14 tahun itu cenderung gak mau cerita tuh,” ujarnya.
Ketakutan akan penghakiman dan pembatasan akses internet yang tidak solutif sering menjadi alasan korban memilih diam.
“Nanti kalau cerita malah dilarang-larang, lalu udah gitu juga norma gender itu yang dari orang dewasa seringkali diskriminatif,” kata Verania.
Sering kali, respons lingkungan justru menyudutkan korban (victim blaming).
“Yang disalahin tuh, remaja perempuannya, bukan pelakunya,” keluhnya.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya pemahaman orang tua dan guru mengenai keamanan digital yang substansial.
“Nah, banyak juga orang tua atau guru yang tidak memahami resiko dari kekerasan digital ini,” tuturnya.
“Jadi pengawasannya cuma ‘jangan lama-lama ya pakai internetnya’ bukan pada online safety.”
Verania menyimpulkan bahwa kombinasi masa transisi remaja, tekanan psikologis, dan lingkungan yang kurang mendukung menciptakan situasi berbahaya.
“Nah, faktor-faktor ini menyebabkan kerentanan makin meningkat, terutama untuk remaja perempuan,” jelasnya.
Reporter: Safelia Putri