- Rokok murah hasil impor memicu kenaikan prevalensi perokok anak dan mengancam kesehatan publik.
- Petani tembakau Temanggung merugi parah akibat harga anjlok dan penyerapan pabrikan menurun.
- Perusahaan rokok raksasa mengimpor puluhan ribu ton tembakau, bertentangan dengan nasib petani lokal.
Suara.com - MENDUNG menggantung di atas Desa Nayu, Kecamatan Bulu, Temanggung, seolah menahan terik matahari yang enggan bersinar. Dari desa ini, aroma khas tembakau yang baru dijemur menguar di antara embusan angin lembab. Di sebuah lahan terbuka berpagar seng, beberapa petani sibuk menata rigen—anyaman bambu untuk menjemur daun emas kebanggaan mereka.
Heru, sang pemilik lahan, menanam 15 ribu bibit di atas tanah seluas setengah hektare. Biasanya, ia bisa meraup Rp 60-70 juta sekali panen. Namun, musim ini cerita manis itu sirna. Hasil panennya anjlok hingga 80 persen, sebuah anomali yang tak pernah ia bayangkan.
“Regane remuk. Ajur (harganya hancur), Mas," keluh Heru saat ditemui tim kolaborasi Suara.com, Jaring.id, dan Serat.id pada 29 September 2025 di Temanggung, Jawa Tengah.
Kisah pilu serupa terdengar dari Desa Gandurejo, Parakan. Ismanto, seorang petani tembakau lainnya, hanya bisa pasrah saat hasil panennya dihargai Rp 40-50 ribu per kilogram, jauh di bawah harga normal yang bisa mencapai Rp 80 ribu. Baginya, keuntungan kini hanya angan-angan.
“Bahkan untuk biaya sekolah anak tidak cukup,” katanya lirih.
Biang keladinya, menurut Ismanto, adalah keputusan PT Gudang Garam yang tak lagi membeli 8.400 ton tembakau Temanggung sejak 2024. Petani pun terpaksa menjual hasil panen ke PT Djarum dengan harga lebih rendah, karena syarat pembelian yang berbeda.
“Ya pasti di tumbas [dibeli] Djarum, yang penting tidak pakai gendhis [gula, campuran],” kata Ismanto.
![Infografis perusahaan rokok yang mengimpor tembakau. [Suara.com/Aldie]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/11/28/51445-infografis-perusahaan-rokok-yang-mengimpor-tembakau.jpg)
Banjir Impor Saat Petani Lokal Tercekik
Di tengah keterpurukan petani, Bupati Temanggung, Agus Setyawan, berupaya melobi PT Djarum pada akhir September lalu. Ia meminta perusahaan menyerap tembakau petani yang tak lagi ditampung Gudang Garam. Meskipun kualitas tembakau menurun akibat cuaca, Agus bersyukur Djarum masih mau membeli.
Baca Juga: Ruang Digital Makin Rawan, Ini Pentingnya Dorong Generasi Muda Melek Literasi
"Alhamdulillah terima kasih sekali Djarum mentolerir kondisi-kondisi itu," ujarnya.
Sebelumnya, Agus juga telah menyambangi markas Gudang Garam di Kediri. Alasan perusahaan: stok menumpuk, kenaikan cukai rokok, dan lemahnya ekspor.
“Kami tetap berharap, akan ada kabar baik dari PT Gudang Garam dalam beberapa pekan ke depan," kata Agus pada 11 Juni lalu.
Namun, di balik dalih stok penuh dan kenaikan cukai, tersembunyi sebuah ironi besar. Penelusuran data impor melalui platform Panjiva oleh tim kolaborasi mengungkap fakta mengejutkan. Selama periode 2023 hingga Juli 2025, PT Gudang Garam justru aktif mengimpor ribuan ton tembakau.
Tercatat, perusahaan ini mengimpor 5.800 ton tembakau Virginia (HS 24012010) senilai USD 27 juta atau setara Rp 452 miliar dengan kurs Dolar AS Rp16.742 per tanggal 20 November 2025. Kemudian, 2.100 ton tembakau belum diolah (HS 24011090) senilai USD 12 juta atau setara Rp 222,8 miliar, dan 950 ton tembakau Virginia kering (HS 24102030) senilai USD 7 juta atau setara Rp 117,1 miliar.
Rizky Kusuma Hartono, peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, menilai aktivitas impor ini janggal. Pertama, Gudang Garam adalah produsen rokok kretek, tapi dominan mengimpor tembakau Virginia yang umum untuk rokok putih. Kedua, importasi besar-besaran ini terjadi bersamaan dengan anjloknya serapan tembakau dari petani mitra di Temanggung.
“Selama ini bilang petani tembakau turun itu menyalahkan cukai. Saya duga ada kecurangan, petani dirugikan. Angka impor cukup besar enggak sehingga terserap,” kata Risky.
Ia menduga ada permainan dalam kuota impor. Sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 23 Tahun 2019, importir wajib menyerap tembakau dalam negeri terlebih dahulu. Tanpa itu, rekomendasi teknis untuk impor tak akan terbit.
“Apakah ini ada potensi pelanggaran mudah sekali impor yang masuk tanpa diketahui pemerintah daerah,” tanya Risky.
![Tembakau hasil panen petani di Temanggung, Jawa Tengah. [Dok. Serat.id]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/11/28/66688-tembakau-hasil-panen-petani-temanggung.jpg)
Dalih Korporasi dan Jebakan Rokok Murah untuk Remaja
Laporan keuangan Gudang Garam per Juni 2025 memang menunjukkan penurunan volume penjualan rokok. Namun, di tengah kondisi itu, perusahaan justru mengakui biaya impor menjadi salah satu beban keuangan. Alih-alih menyerap hasil petani lokal, mereka memilih meluncurkan varian Sigaret Kretek Tangan (SKT) baru yang lebih murah pada 2024.
Alasannya? ”ada pergeseran konsumen produk lebih murah,” tulis laporan perusahaan.
Tim kolaborasi telah berupaya meminta konfirmasi dan wawancara kepada Corporate Communication Manager PT Gudang Garam Tbk, Fitriani Wardhani. Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai saluran, termasuk pesan, telepon, dan surat resmi, dalam rentang waktu 16 Oktober hingga 11 November 2025. Namun, hingga laporan ini diterbitkan, pihak perusahaan tidak memberikan respons.
Langkah ini menjadi alarm bahaya bagi kesehatan publik. Riset Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) pada April 2025 menunjukkan bahwa harga rokok murah memiliki pengaruh signifikan terhadap inisiasi merokok pada remaja usia 10-18 tahun.
“Alasan yang paling memungkinkan untuk temuan ini adalah popularitas dan ketersediaan yang tinggi di Indonesia,” kata peneliti CISDI, Gea Melinda.
CISDI mendesak pemerintah membuat kebijakan harga rokok yang tinggi agar sulit dijangkau remaja. Namun, strategi industri justru sebaliknya: menciptakan produk murah untuk menjaring konsumen baru.
“Hal ini memungkinkan kami untuk menginterpretasikan koefisien harga yang secara langsung menunjukkan perubahan harga rokok riil mempengaruhi risiko seseorang untuk mulai merokok,” tegas Gea.
![Infografis impor tembakau. [Gemini]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/11/28/82375-infografis-impor-tembakau.jpg)
Gurita Impor: Siapa Saja Pemain Kakap di Balik Layar?
Banjir impor ini membuat Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) geram. Ketua APTI, Agus Parmuji, menyebut importasi tembakau sudah mencapai 50 persen dari produksi dalam negeri.
“Itu sudah di ambang batas kewajaran. Kalau dibiarkan, petani akan kalah bersaing di negeri sendiri," ujarnya dengan nada tinggi.
Pemerintah dinilai lemah dalam pengawasan. Aturan yang seharusnya melindungi petani lokal seolah tak bergigi.
"Yang menikmati hasil impor itu ya importirnya. Mereka tidak punya tanggung jawab moral terhadap petani," kata Agus.
Mantan Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Hananto Wibisono, menengarai adanya permainan pihak ketiga.
"Yang biasanya bermain adalah pihak ketiga atau importir yang berada di luar sistem resmi, mereka ini yang sulit dilacak tapi justru punya peran besar di balik rantai impor," terangnya.
Data Kemendag menunjukkan impor tembakau periode 2023-2024 didominasi jenis Virginia, dengan total impor mencapai 363.456 ton, naik 21 persen dalam dua tahun. Para pemainnya bukan hanya Gudang Garam, melainkan perusahaan-perusahaan raksasa lain seperti HM Sampoerna (19.000 ton), Djarum (2.200 ton), dan Sumatra Tobacco Trading Company (15.000 ton).
Beberapa importir seperti Panca Kusuma Raya dan Sumatra Tobacco Trading Company diduga tidak menyerap tembakau lokal sebelum mengimpor, sebuah pelanggaran nyata terhadap Permentan No. 23/2019. Bahkan, Panca Kusuma Raya diduga menjual kembali tembakau impornya ke produsen lain, yang jelas-jelas dilarang oleh Permendag No. 84/2017.
Untuk kepentingan verifikasi data, permohonan mengenai daftar importir tembakau telah diajukan kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Hingga saat ini, kedua kementerian belum memberikan data yang diminta. Pihak Kementerian Perdagangan, melalui Kepala Biro Humas Muhammad Rosyid, secara resmi menolak permintaan tersebut dengan alasan kerahasiaan. Menurutnya, informasi tersebut dikecualikan dari data publik.
“Data impor termasuk data yang dikecualikan,” ujar Rosyid.
![Infografis impor tembakau. [Gemini]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/11/28/44663-infografis-impor-tembakau.jpg)
Tanggapan Pemerintah
Menanggapi keluhan petani dan temuan tim kolaborasi, Sekretaris Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Heru Tri Widarto, mengakui adanya sejumlah faktor sistemik yang menyebabkan produk tembakau petani lokal tidak terserap oleh industri.
Menurutnya, empat masalah utama menjadi penyebabnya: penurunan produksi rokok akibat kenaikan cukai, melimpahnya pasokan saat panen raya, model kemitraan yang lemah, dan persaingan dengan tembakau impor untuk kebutuhan spesifik.
Heru menjelaskan bahwa model kemitraan antara perusahaan dan petani di lapangan masih belum optimal. Sebagian besar transaksi masih menggunakan sistem "beli putus", yang menempatkan petani mandiri (non-mitra) pada posisi yang sangat rentan.
"Saat terjadi kelebihan pasokan, perusahaan akan memprioritaskan pembelian dari petani mitra yang sudah terikat kontrak. Petani mandiri seringkali menjadi korban pertama yang produknya tidak dibeli, atau jika dibeli harganya akan sangat rendah," jelas Heru.
Pemerintah, lanjutnya, terus mendorong penguatan pola kemitraan yang lebih adil dan transparan untuk menjamin keberlanjutan usaha dan kesejahteraan petani.
Terkait impor yang dilakukan perusahaan besar seperti Gudang Garam, Heru menyatakan bahwa hal itu seringkali didasari oleh kebutuhan spesifikasi khusus yang belum bisa dipenuhi produksi lokal.
"Misalnya tembakau jenis Virginia, Oriental, dan Burley untuk bahan baku sigaret putih mesin (SPM) dengan ciri khas kandungan tar dan nikotin yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tembakau lokal," ujarnya.
Namun, saat dikonfirmasi mengenai pemberian rekomendasi teknis impor kepada sejumlah perusahaan besar seperti Gudang Garam, HM Sampoerna, dan Djarum, Heru Tri Widarto membantah.
"Kementan tidak mengeluarkan rekomendasi teknis impor tembakau," katanya.
Ia menambahkan, situasi ini menyoroti perlunya kebijakan yang lebih berpihak pada petani, misalnya dengan mengatur volume impor secara lebih ketat, terutama saat musim panen raya domestik.
Mengenai klaim perusahaan seperti Gudang Garam yang menyebut penurunan ekspor sebagai alasan mengurangi serapan, Heru menilai bahwa guncangan pasar domestik akibat kenaikan cukai memiliki dampak yang jauh lebih masif.
"Penurunan permintaan domestik akibat kenaikan cukai memiliki dampak yang jauh lebih masif terhadap kebutuhan tembakau. Petani berada di posisi paling akhir dan paling lemah dalam rantai pasok ini," tuturnya.
Saat Keran Impor Mengancam Generasi Muda
Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, mengecam keras sikap pemerintah. Menurutnya, data importir adalah informasi publik yang harus dibuka.
“Itu melanggar keterbukaan informasi publik. Ini pertanyaan besar kenapa pemerintah tidak mau membuka pelaku importasi itu. Pasti ada dugaan pat gulipat,” kata Tulus.
Bagi Tulus, keran impor yang terbuka lebar tidak hanya merugikan petani, tetapi juga menjadi bencana bagi kesehatan publik. Tembakau impor yang murah menjadi bahan baku rokok terjangkau yang menyasar anak dan remaja.
Data Kemenkes menunjukkan 75 persen perokok mulai merokok di bawah usia 20 tahun. Survei Kesehatan Indonesia 2023 mencatat prevalensi perokok anak mencapai 7,5 persen.
“Tahun depan bisa naik menjadi 15 persen karena tidak ada pengendalian secara sungguh-sungguh. Kalau importasinya terus masuk dan pangsa pasar nasional yang menyerap nasional konsumen nasional dan penyakit pada masyarakat,” ujar Tulus.
Ia menegaskan, kerugian ekonomi dan kesehatan akibat rokok bisa tiga kali lipat lebih besar dari penerimaan cukai. Pendapatan cukai sekitar Rp 116 triliun harus dibayar dengan kerugian hingga Rp 600 triliun.
“Idealnya importasi dilarang. Masak impor tembakau yang membahayakan warga lalu kita subsidi Kesehatan akibat terdampak penyakit. Idealnya Adalah dilarang untuk melindungi Kesehatan warga dan untuk petani local,” pungkas Tulus.