Kala Hujan Tak Lagi Jadi Berkah, Mengurai Akar Masalah Banjir Sumatra

Senin, 01 Desember 2025 | 15:21 WIB
Kala Hujan Tak Lagi Jadi Berkah, Mengurai Akar Masalah Banjir Sumatra
Foto Ilustrasi banjir Sumatra. (Tim grafis Suara.com/Aldie)
Baca 10 detik
  • Banjir bandang dan longsor di Sumatra akhir November 2025 menewaskan ratusan jiwa akibat curah hujan ekstrem dan Siklon Tropis Senyar.
  • Kerusakan alam seperti deforestasi, sedimentasi sungai, dan tata ruang terabaikan di hulu memperparah dampak bencana.
  • Pemerintah fokus pada penanganan darurat korban dan pemulihan infrastruktur, sementara WALHI menuntut restorasi ekologis mendasar.

Suara.com - "Tidak pernah ada cerita pohon di hutan melakukan bunuh diri massal." Kalimat tajam dilontarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di akun Facebook-nya menjadi tamparan keras di tengah duka yang menyelimuti Sumatra.

Saat lumpur dan gelondongan kayu menumpuk di permukiman warga dari Aceh hingga Sumatra Barat, pertanyaan mendasar kembali mengemuka. Apakah ini murni amarah alam, atau warisan dari ulah manusia yang abai?

Banjir bandang dan longsor yang menerjang sejumlah provinsi di Sumatra pada penghujung November 2025 meninggalkan luka mendalam. Ratusan nyawa melayang, ribuan orang kehilangan tempat tinggal, dan infrastruktur luluh lantak.

Di permukaan, pemicunya jelas, air dari langit seolah tumpah tanpa henti. Namun, mengkambinghitamkan cuaca ekstrem semata berarti menutup mata pada borok yang lebih dalam di daratan.

Pemicu di Langit: Saat Hujan Tak Lagi Jadi Berkah

Tak bisa dimungkiri, cuaca ekstrem adalah pemicu awal dari rentetan bencana ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan yang turun masuk dalam kategori ekstrem, dengan beberapa wilayah mencatat intensitas lebih dari 150 hingga 300 milimeter per hari.

Di Lubuk Minturun, Kota Padang, curah hujan bahkan memecahkan rekor tertinggi dalam 30 tahun terakhir, mencapai 261 mm dalam sehari.

Dalam keterangannya yang dikutip, Senin (1/12/2025), pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Muhammad Rais Abdillah, menjelaskan bahwa wilayah Sumatera memang tengah berada di puncak musim hujan.

Kondisi itu diperparah oleh munculnya pusaran atau sirkulasi siklonik yang kemudian berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di sekitar Selat Malaka, yang mendorong pembentukan awan hujan masif.

Baca Juga: Misteri Kayu Gelondongan Hanyut saat Banjir Sumatera, Mendagri Tito Siapkan Investigasi

"Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu," ujar Hatma Suryatmojo, Peneliti Hidrologi Hutan dari UGM dalam keterangannya sebagaimana dibagikan UGM pada Senin hari ini.

Akar Masalah di Darat: "Dosa Ekologis" yang Menumpuk

Warga berjalan melintasi sungai dengan jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/bar]
Warga berjalan melintasi sungai dengan jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/bar]

Di sinilah benang kusut itu mulai terurai. Air hujan yang seharusnya menjadi berkah berubah menjadi bencana ketika jatuh di atas bentang alam yang sudah terluka parah.

1. Hutan yang Terus Menyusut

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa tutupan hutan di Sumatra terus menyusut dari tahun ke tahun. Alih fungsi lahan besar-besaran menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan area pertambangan telah menghilangkan "spons raksasa" alami.

"Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir," kata Dr. Heri Andreas, pakar geospasial ITB sebagaimana dikutip dari laman ITB.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI