- Perjuangan Hafitar menempuh puluhan kilometer demi sekolah menjadi viral di media sosial.
- Kisahnya mengungkap potret buram ketimpangan akses pendidikan yang nyata di Indonesia.
- Kebijakan reaktif pemerintah dinilai belum menjawab akar masalah sistemik dunia pendidikan.
Suara.com - SAAT fajar baru menyingsing, ketika sebagian besar bocah kelas 1 SD masih terlelap, Hafitar sudah berdiri di peron stasiun. Tubuh mungilnya terbalut seragam merah-putih, menanti rangkaian KRL yang akan membawanya dari Tangerang menuju Klender, Jakarta Timur—sebuah ritual harian yang tak biasa untuk anak seusianya.
Kisahnya yang viral sontak menarik perhatian publik. Perjalanan puluhan kilometer yang ditempuh bocah 7 tahun itu setiap hari demi bangku sekolah terasa tak lazim.
Momen itu bahkan membawa Hafitar ke Balai Kota, diundang oleh Wakil Gubernur DKI saat itu, Rano Karno, yang menepuk bahunya seraya berucap, “Hebat kamu nak!”
Kelelahan dalam perjalanan jauh itu kini sedikit terobati. Melalui mediasi sekolah dan dinas pendidikan, Hafitar untuk sementara ditempatkan di rumah teman sekelasnya.
Namun, solusi personal ini justru membuka kotak pandora yang lebih besar: realitas pahit tentang ketimpangan akses pendidikan yang masih menjadi luka di wajah Indonesia.
![Infografis cerminan akses dan amanat pendidikan di Jakarta. [Dok. Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/12/01/47108-infografis-akses-pendidikan-di-jakarta.jpg)
Sebuah Perjuangan yang Membuka Luka Lama
Kisah Hafitar bukanlah anomali. Data Kementerian Pendidikan pada 2022 menunjukkan sekitar 1,4 juta anak usia sekolah tidak bersekolah, diperparah oleh angka putus sekolah akibat faktor ekonomi dan minimnya fasilitas.
Begitu video perjalanannya viral, respons institusi bergerak cepat. Kasatlak Pendidikan Kecamatan Duren Sawit, Farida Farhah, menjelaskan bahwa pihak sekolah dan dinas pendidikan telah berdiskusi dengan keluarga.
“Kondisinya sudah seperti itu, kami mengambil inisiatif bahwa Hafitar akan kami rawat secara bersama,” ujarnya baru-baru ini. Solusi sementara pun diambil sambil menunggu proses mutasi sekolah Hafitar ke Tangerang.
Baca Juga: Perempuan yang Dorong Petugas hingga Nyaris Tersambar KRL Ternyata ODGJ
Namun, data skala nasional mengonfirmasi bahwa masalah ini jauh lebih dalam. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 4 juta anak usia 7-18 tahun tidak bersekolah atau putus sekolah.
Di sisi lain, 302 kecamatan di Indonesia bahkan belum memiliki SMP/MTs, dan 727 kecamatan belum memiliki SMA/SMK/MA. Jarak masih menjadi tembok penghalang nyata bagi mimpi anak-anak bangsa.
Ketika Viral Menjadi Jalan Pintas Keadilan
Fenomena ini, menurut analis media sosial dari Drone Emprit, Nova Mujahid, adalah cerminan dari birokrasi yang lambat dan reaktif. Publik terpaksa menggunakan media sosial sebagai medium untuk memaksa negara hadir.
"Kasus Hafitar ini bukanlah yang pertama, dan saya yakin masih banyak kasus serupa di tempat lain," ujar Nova kepada Suara.com, Senin (1/12/2025).
Ia menyoroti bagaimana emosi netizen—kaget dan sedih melihat perjuangan anak kecil melawan kemiskinan struktural—menjadi pendorong utama.